Perjalanan Ke Todo
Bakda Subuh 29 November 2018, pagi-pagi benar, saya bersama teman-teman dan Tim Pegi-pegi Yuk Jelajahi Indonesiamu sudah disibukkan dengan persiapan untuk memulai perjalanan panjang.
Sesuai rencana, Jam 07.00 WITA kami sudah harus beranjak dari Labuan Bajo menuju ke Kampung Adat Todo. Jarak kedua tempat ini lumayan jauh, sekitar 4 jam perjalanan menggunakan mobil dengan medan berupa lereng-lereng bukit.
Untunglah jalan ke sana cukup bagus dan mulus, sehingga saya tidak perlu dikhawatirkan goncangan-goncangan akibat jalan berlubang. Apalagi di sepanjang perjalanan saya disuguhi oleh panorama "rancak" berupa bentangan lahan persawahan penduduk, jajaran perbukitan, hingga perkebunan kemiri yang sedang "berpucuk muda". Daun-daun kemiri berwarna abu-abu laksana kilauan perak menghiasi perkampungan dan perbukitan di sepanjang perjalanan.
Sekitar pukul 11.00 WITA, nun dari kejauhan sudah tampak julangan atap kerucut dari "mbaru niang" sebutan untuk rumah tradisional orang Manggarai yang menyambut kedatangan saya dan rombongan dan akhirnya kami menjejakkan kaki jua di kampung Todo setelah perjalanan yang begitu melelahkan. Secara administratif, Kampung Todo berada di kecamatan Satar Mese Kab. Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Menhir di Kampung Todo
Insting seorang arkeolog memang tidak bisa dibohongi, segera setelah turun dari mobil saya memisahkan diri dari rombongan. Di saat teman-teman menemui Pak titus (pengelola desa Todo), saya malah melangkahkan kaki menuju pemakaman yang kebetulan berada di dekat pintu masuk kampung. Dan benar saja, di antara makam-makam penduduk saya menemukan beberapa "batu tegak" yang dalam istilah arkeologi disebut sebagai menhir.
Menhir merupakan salah satu tinggalan dari tradisi megalitik (batu besar) yang di beberapa wilayah di Indonesia tradisi ini masih bertahan.
Menhir di kampung Todo sangat menarik bagi saya, ini karenasebagian besar di antaranya memiliki kemiripan dengan menhir-menhir yang ada di wilayah Sumatra Barat. Satu menhir yang ada di sekitar pemakaman penduduk bahkan memiliki motif hias flora yang mirip dengan ukiran rumah gadang.
Jarak antara lokasi menhir yang ada di makam dengan bangunan mbaru niang hanya beberapa puluh meter saja. Keduanya dihubungkan oleh jalan selebar 1 hingga 1,5 meter yang terbuat dari susunan batu pipih. Selain di lokasi pemakaman yang berada di gerbang desa, menhir juga didirikan di tengah-tengah desa atau di depan rumah adat mbaru.
Menhir ini didirikan di atas lahan yang lebih tinggi berbentuk persegi dan dikelilingi oleh susunan batu disebut dengan istilah compang atau altar.
Compang ini menjadi salah satu tempat ritual terhadap roh nenek moyang bagi orang Manggarai. Sementara itu, lokasi menhir di dekat gerbang desa disebut sebagai pasomba sebagai lokasi ritual untuk menolak bala.