Saya sangat senang bahwa artikel saya sebelumnya yang berjudul "Menyikapi klaim kepemilikian Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci" (lihat di sini) mendapat respon sekaligus kritik dari saudara Ghiovani Debrian dalam tulisannya "catatan saya atas artikel Hafiful Hadi " (lihat di sini). Bak kata pepatah "gayung bersambut, Andai Bertingkah, kata berjawab". Oleh sebab itu, melalui tulisan ini saya merespon sekaligus menjawab beberapa persoalan sebagaimana yang telah dilontarkan saudara Ghiovani Debrian.
Pertama, Ghiovani menyebutkan bahwa nama Gunung Kerinci dahulu kala bukan hanya Gunung Berapi tetapi Gunung Berapi Hilir, bahkan disajikan beberapa data hasil alihaksara naskah piagam kaum adat Kerinci oleh Voorhoeve (1941) dan alihaksara cap mohor Sultan Abdul Djalil. Namun, agaknya Ghiovani keliru dalam menginterpretasikan alihaksara teks naskah karena hanya dipenggal beberapa kata saja sehingga lepas dari konteks aslinya. Oleh sebab itu marilah kita tinjau alih aksara teks secara keseluruhan.
Dalam naskah piagam Depati Mangku Bumi Tuo Suto Menggalo (TK 171)-- dalam hal ini Voorhoeve menyebutnya sebagai Soetan Nanggalo-- disebutkan bahwa "Sehingga kaki Gunung BerapiHilir, sehingga Tebing Tinggi Mudik dan sehelai kayu, seekor ikan, setitik air, sebatang laras ialah Depati mangku Bumi empunya segala" atau dalam naskah piagam lain (TK 173) yang berbunyi "bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Gumi, Depati Intan, Depati Mangku Gumi. Itulah gedang yang bertiga berat sama2 dipikul, ringan sama2 dijinjing adanya"
Kata "hilir" dan kata "mudik" di Kerinci (bahkan di Sumatra) umumnya digunakan untuk menunjukkan arah menggantikan sistem mata angin. Hilir berarti arah muara sungai dan mudik menunjukkan arah hulu Sungai. Sehingga maksud "hilir" dan "mudik" ini berbeda-beda di setiap kawasan,tergantung di mana posisi atau titik pandang itu diambil dan sungai mana yang dijadikan sebagai acuan.
Dari interpretasi saya, kata mudik dan hilir dalam naskah TK 171 sesungguhnya untuk menjelaskan bahwa wilayah Depati Mangku Bumi Suto Menggalo adalah dari kaki Gunung Berapi ke hilirnya (ke Selatan) dan dari Tebing Tinggi (nama tempat) ke arah mudiknya (ke arah Utara).
Gunung Berapi dan Tebing Tinggi menjadi dua lokasi yang menjadi titik awal perhitungan (tunggul baruan) ulayat. Paralel dengan naskah TK 173 tetapi dengan diksi yang berbeda. Naskah TK 173 menunjukkan bahwa wilayah tiga orang Depati, mudik (arah ke hulu) 'tersekut' ke Gunung Berapi dan Hilir (arah ke hilir) hingga Tebing Tinggi. Lebih lanjut bahwa arti kata 'tersekut' dalam naskah TK 173 ini merupakan bahasa Kerinci yang tidak ditemui dalam KBBI. "Sekut" dalam bahasa Kerinci diartikan sebagai mencakup atau melingkupi.
Sama halnya dengan alihaksara dari dua cap mohor yang terdapat di dalam katalog Dr. Annabel Teh Gallop no 661 dari Manuscript SOAS MS 40320111, f. 122 sebagaimana yang dimuat Giovani dalam tulisannya, "Sultan AbdulJalil yang [mempunyai] tahta kerajaan [negeri]Minangkabau mengaku anak kepada Sultan Abdul j.a.l.b.nyang punyai tahta kerajaan negeri jambi menyerahkan rakyathingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dari Jambi mudik",atau dari stempel lain yang berbunyi 'Sultan Abdul Jalil yang mempunyai tahta kerajaan negeriMinangkabau yang mengurniai Paduka Anakda BagindaGelar Sultan MahmudSyah yang di alas tahta kerajaannegeri Johor menyerahkan segala anak Minangkabau hinggakaki Gunung Berapi hilir [sampai'] ke laut",bahwa maksud "Gunung Berapi Hilir" adalah Gunung Berapi ke arah hilir.
Singkatnya, kata "hilir" dari naskah-naskah ataupun cap mohor ini menunjukkan ke arah hilir dari gunung berapi bukan posisi gunungnya yang berada di hilir. Soalnya ialah Gunung Berapi (Kerinci) baik dilihat dari Solok Selatan (Acuan Sungai Batang Sangir) maupun Kerinci (acuan Hulu dari anak-anak sungai yang bermuara ke Batang Merao) tetap posisinya di Mudik (di hulu Sungai) bukan di hilir atau muara Sungai.
Lebih Lanjut, isi teks naskah piagam milik Depati-Depati yang ada di Siulak, Kerinci dengan teks dari dua Cap Mohor sangatlah berbeda. Naskah piagam secara tegas menyebutkan bahwa kekuasaan Depati Intan, Depati Mangku Bumi dan Depati Raja Simpan Bumi dan rakyatnya (diistilahkan dengan anak jantan-anak batinonya) meliputi segala sumber daya alam yang diistilahkan dengan "setitik air, sebatang laras, seekor ikan, sekepal tanah" yang berada dalam batas-batas wilayah sebagaimana bunyi naskah piagam (TK 173). Sedangkan, teks cap mohor hanya menyebutkan "menyerahkan segala anak Minangkabau" atau "menyerahkan rakyat" yang berada di kawasan Gunung Berapi ke arah hilir. bukan kekuasaan atas lahan, tanah, maupun sumber-sumber daya alam tetapi menyerahkan kekuasaan atas rakyat atau anak Minangkabau kepada penguasa yang ditunjuk.
Sumber lain yang menegaskan bahwa nama Gunung Kerinci mulanya adalah Gunung Berapi tanpa embel-embel hilir adalah laporan dari kontrouler van Indrapura W.C. Hoogkamer tertanggal 31 Desember 1876 dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen. Deel XXXIX.
Kedua, Giovani mempersoalkan tentang wilayah di Utara Gunung Kerinci yang hanya disebutkan Kerajaan Sungai Pagu padahal di Selatan Minangkabau terdapat wilayah lain seperti Rantau XII Koto dan Kerajaan Jambu Lipo. Untuk itu,marilah kita lihat masalah ini dari dua perspektif yaitu dari perspektif masyarakat Kerinci berdasarkan sumber naskah Tambo dan Naskah Piagam yang ada di Kerinci dan dari perspektif masyarakat Minangkabau bersumber pada naskah tambo yang ada di Rantau XII Koto ataupun dari Kerajaan Sungai Pagu.