Siapa yang tak kenal Gunung Kerinci? Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini, telah menjadi primadona para pendaki Gunung Nasional dan Internasional. Gunung setinggi 3805 mdpl ini, menjulang di tengah-tengah Pulau Sumatra. Tak hanya itu, gunung yang pernah ditaklukkan Presiden Joko Widodo saat berstatus mahasiswa UGM ini, semakin meningkat ketenarannya, tatkala Jokowi memaparkan memorinya tentang pengalaman mendaki Gunung Kerinci saat berkunjung ke Provinsi Sumatra Barat beberapa waktu yang lalu.
Namun tak ada yang menyangka bahwa Gunung Kerinci sendiri menjadi polemik di tengah masyarakat Jambi terutama masyarakat Kerinci dengan masyarakat Solok Selatan di Sumatra Barat terkait klaim kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam yang satu ini. Hal ini dikarenakan posisi Gunung Kerinci sendiri terletak di perbatasan ke dua provinsi.
Apalagi, di saat Pemkab Solok Selatan-- kabupaten yang terbentuk tahun 2004-- membuka jalur pendakian Gunung Kerinci yang baru dari wilayahnya pada tahun 2017. Sontak saja, menimbulkan kontra di tengah-tengah masyarakat Kerinci yang memiliki jalur pendakian utama Gunung Kerinci sejak tahun 1933 via Kersik Tuo, Kayu Aro. Menyikapi hal ini, izinkanlah saya memaparkan beberapa data sejarah penting terkait dengan kepemilikan Gunung Kerinci tersebut.
Gunung Kerinci dulunya bernama Gunung Berapi
Gunung Kerinci sejatinya tak hanya menjadi primadona bagi masyarakat sekarang ini, tetapi sejak berabad-abad yang lalu, komunitas-komunitas adat telah mengklaim kepemilikan/penguasaan terhadap Gunung Kerinci ini. Data sejarah paling awal terkait dengan kepemilikan atau penguasaan Gunung Kerinci adalah naskah piagam dari Kesultanan Jambi sekitar pertengahan abad ke 18 M (1742-1776).
Naskah piagam atau piagem merupakan naskah kuno beraksara Jawi yang umumnya dikeluarkan pada masa Kesultanan Islam di Indonesia. Khusus di wilayah Jambi, naskah piagam ini berisi legitimasi penguasaan wilayah adat beserta batas-batasnya oleh pihak Kesultanan Jambi kepada penguasa daerah/lokal yang mengakui Jambi sebagai kerajaan protektornya.
Kepemilikan dan penguasaan Gunung Kerinci juga disebutkan dalam naskah piagam dari Kesultanan Jambi ini, sebagaimana hasil alihaksara oleh Voorhoeve (1941), naskah-naskah tersebut berbunyi:
"Bahwa ini piagam tanah kepala persembah yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Nagara dengan cap surat celak piagamnya kepada Depati Raja Simpan Bumi, Mangku Bumi dan Depati Raja Simpan Bumi Indera Andum Laksana, Adapun perbatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bungsu, Gunung Berapi........"
Naskah yang lain berbunyi: "Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang bertiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi......"
Naskah ini dikeluarkan oleh Sultan Anum Suria Ingalaga yang bertahta di Kesultanan Jambi pada 1742-1776 M berisi mengenai pengakuan penguasaan wilayah adat oleh Kesultanan Jambi kepada penguasa lokal yang bermukim di kaki Gunung tersebut (sekarang wilayah kec. Siulak dan Siulak Mukai) yaitu Depati Intan, Depati Mangkubumi dan Depati Rajo Simpan Bumi. Wilayah penguasaan ketiga orang Depati tersebut mencakup Gunung Berapi secara keseluruhan.
Namun, wilayah di sebelah Utara Gunung Berapi sudah termasuk wilayah adat lain yaitu wilayah Kerajaan Sungai Pagu-- yang menjadi cikal bakal Kabupaten Solok Selatan--hal ini karena gunung Berapi sekaligus dijadikan sebagai penanda batas wilayah.