Saya sebenarnya tidak berminat memperkarakan masalah 'si cantik' Rina Nose yang melepas hijabnya, itu mah urusan pribadi dia, tetapi karena dia seorang publik figur, topik rina nose melepas hijab menjadi sangat hangat akhir-akhir ini. Seolah-olah menjadi isu nasional, padahal sama sekali tidak penting. Toh banyak isu urgen yang semestinya dibahas, namun sudah nenjadi tabiat kita untuk bernyinyir Ria apalagi isunya mengenai masalah agama.
Ustadz Abdul Somad (UAS) yang ceramah-ceramahnya kerapkali saya dengarkan, ikut pula terseret dalam kasus lepas hijab rina nose ini, tatkala ia ditanyai oleh seorang jama'ahnya. Di sinilah terlontar kata dari UAS perihal Rina Nose yang berhidung 'pesek' dan digolongkannya ke dalam artis yang 'jelek'. Sontak saja pernyataan UAS inipun dijadikan sebagai senjata oleh pihak yang sudah sedari awal tidak menyukai dakwah UAS untuk menjatuhkan martabat sang Ustadz, kata mereka "kok seorang Ustadz mengejek orang lain".
Saya tak habis pikir, mengapa 'si cantik' Rina Nose begitu tersinggung dikatakan 'pesek' oleh UAS. Padahal ketika "peseknya" itu dijadikan bahan guyonan masyarakat se-Indonesia ketika tampil di layar kaca, responnya malah sebaliknya. Ia biasa-biasa saja, bahkan boleh dikatakan 'riang gembira' dengan ciri fisik yang disematkan kepadanya itu, karena mungkin bisa menaikkan pamor keartisannya itu.
Lagi pula, rerata hidung orang Indonesia, umumnya di Asia Tenggara, memang memiliki ciri "pesek", kalaupun ada yang mancung kemungkinan membawa gen-gen bangsa dari luar misalnya gen orang India-arya, Eropa, Persia dan Arab, atau mungkin hasil dari operasi plastik dan permainan make-up yang digandrungi saat ini. Kalau saya malah tersinggung dikatakan mancung, karena faktanya saya adalah orang dengan hidung pesek. Saya tak habis fikir, mengapa kata "pesek" kemudian dimaknai sebagai sebuah ejekan, apakah kita memang tidak bersyukur atas ciri fisik yang dilekatkan Tuhan kepada ras kita sebagai manusia Asia Tenggara ini.
Perihal 'jeleknya' Rina Nose di mata UAS, tentunya UAS punya indikator tersendiri dalam menilai baik buruknya rupa seseorang. Apalagi jika UAS memiliki indikator 'cantik' dari sisi keagamaan, tentunya si Rina Nose sama sekali tidak termasuk dalam kategori cantik tersebut. Apa jadinya jika UAS menilai 'cantik' bagi orang yang baru melepas hijabnya seperti Rina Nose, mungkin akan jadi senjata lebih dahsyat untuk menjatuhkan martabat UAS oleh pihak-pihak yang kontra dengannya.
Dalam kasus ini, saya teringat dengan kisah fenomenal tentang Luqman Al-Hakim dengan keledainya. Al-kisah ketika Luqman berjalan ke pasar dengan mengendarai keledai dan anaknya dibiarkan berjalan disampingnya. Apa kata orang kepadanya: 'sungguh bapak yang tidak kasihan kepada anaknya'. Luqmanpun merubah posisinya, kali ini anaknya mengendarai keledai dan ia berjalan, kemudian mereka dikatakan orang "sungguh anak yang durhaka, bapaknya dibiarkan berjalan sedangkan ia bersenang-senang di atas keledai". Kali ini, Luqman dan anaknya sama-sama duduk diatas keledai, namun orang pun berkata "sungguh mereka tidak kasihan kepada keledai, bisa-bisa keledai itu mati karena mereka". Kemudian, Luqman dan anaknya berjalan dan tidak mengendarai keledai yang dibawanya itu, dan orangpun berkata "Sungguh bodoh mereka, mereka membawa keledai tetapi tidak mengendarainya".
Dari kejadian itu, Luqman-pun bernasihat kepada anaknya: "Sesungguhnya kita tidak bisa terlepas dari gunjingan orang lain."Anaknya kemudian bertanya, "Bagaimana cara kita menanggapinya, Ayah?" Luqman meneruskan nasihatnya, "Orang yang berakal tidak akan mengambil pertimbangan melainkan hanya kepada Allah. Barang siapa mendapat petunjuk kebenaran dari Allah, itulah yang menjadi pertimbangannya dalam mengambil keputusan."
Bagi saya, ketersinggungan Rina Nose sesungguhnya bukan semata-mata terletak pada masalah imej "hidung" yang diciptakan oleh pemirsa di layar kaca atau masalah buruk cantiknya ia, tetapi masalah intinya adalah karena UAS berkomentar kontra terhadap tindakannya dalam melepas Hijab, yang tentu saja tidak disenangi oleh Rina Nose.
Melepas maupun menggunakan hijab itu murni keinginan dan pilihan hidup Rina Nose, dia berhak memilih jalan hidupnya, saya pun demikian juga. Saya berhak memilih satu di antara dua jalan yang disodorkan di hadapan saya, akan tetapi jalan yang baik menurut pilihan saya bukan berarti jalan yang baik menurut siempunya jalan itu. Ketika ada seseorang yang mengingatkan bahwa itu pilihan yang salah, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi diri saya, apakah sudah betul pilihan saya itu ataukah saya harus memutar haluan? Saya tentunya berterima kasih kepada orang yang telah memperingatkan saya, paling tidak mereka punya perhatian terhadap diri saya walaupun hanya secuil.
Tuhan, sang empunya jalan-pun, pernah mencela manusia ciptaannya, ketika mereka diberi petunjuk jalan yang benar tetapi mereka mengabaikannya, di antara celaan Tuhan itu: "mereka itu (manusia) sama saja dengan binatang ternak".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H