Lihat ke Halaman Asli

H. H. Sunliensyar

TERVERIFIKASI

Kerani Amatiran

Kisah Tragis Sebuah Kerajaan: Secuil Riwayat Mengenai Kesultanan Jambi

Diperbarui: 22 Maret 2018   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Sebuah Foto yang memperlihatkan Sultan Jambi dan Punggawanya menurut sumber tropenmuseum

Kesultanan Jambi merupakan, sebuah Kesultanan yang berdiri di tengah-tengah Pulau Sumatera, namanya tidak semasyhur Kesultanan lain di Nusantara semisal Kesultanan Mataram, Kesultanan Banten, Kesultanan Deli, Langkat, Aceh, Demak dan lain sebagainya. Wilayah Kesultanan Jambi, meliputi seluruh bagian Provinsi Jambi saat ini, termasuk pula Pulau Berhala yang dipersengketakan dengan Provinsi Kepulauan Riau akhir-akhir ini.

Tidak banyak naskah yang valid mengenai awal berdirinya Kesultanan ini, catatan-catatan berkenaan dengan riwayat pendirian Kesultanan ini ditulis di awal abad ke 20 oleh pewaris Kesultanan misalnya naskah Undang-undang piagam Jambi yang dibuat oleh Ngebi Umar Sutodilogo. Catatan-catatan itu menceritakan tentang seorang Putri bernama Putri Selaro Pinang Masak dari  negeri Pagaruyung yang merupakan penerus dari Kerajaan Malayupura di Hulu Batanghari. Putri itu kembali ke tempat asal leluhurnya dengan menghiliri Sungai  Batanghari kemudian berhenti di sebuah tempat yang dinamainya sebagai Tanah Pilih. Dari Tanah Pilihlah Kerajaan Jambi bermula, Puti Selaro Pinang Masak kemudian menikahi seorang bangsawan Muslim yang bernama Ahmad Salim (Datuk Paduko Berhalo) dan melahirkan putra-putri yang menurunkan para raja dan Sultan Jambi. Rangkayo Hitam merupakan salah satu putra dari Puti Selaro Pinang Masak, yang meneruskan tampuk kerajaaan dan melepaskan Jambi dari hagemoni Kesultanan Demak di masanya. Setelah Rangkayo Hitam, tahta kerajaan diserahkan pada anak-anaknya yang menggunakan gelar Panembahan seperti Panembahan Ilang di Air, Panembahan Kuta Baru, Penembahan Bawah Sawo, dan Panembahan Rantau Kapas.

Catatan-catatan VOC tentang eksistensi Kesultanan Jambi di mulai saat berkuasanya Pangeran Kedak gelar Sultan Abdul Qahhar di awal abad ke 17 M, di mana saat inilah hubungan VOC dengan Jambi mulai terjalin, sebuah Loji Dagang berdiri di daerah bernama Kumpeh di pinggir Sungai Batanghari. Namun, tujuh tahun kemudian keberadaan loji dagang tersebut ditentang oleh rakyat Jambi dan terpaksa ditutup. Hubungan VOC dan Jambi terus memanas, karena sang Sultan Jambi menyokong Sultan Agung dari Banten menentang VOC.

Kejayaan  Kesultanan Jambi mencapai puncaknya pada pertengahan hingga akhir abad ke 17 M sebagaimana yang ditulis oleh Sejarawan Asia Tenggara Barbara Watson Andaya (1993) dalam bukunya 'To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth and Eighteenth Centuries'. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia di tahun 2016 dengan judul Hidup bersaudara: Sumatra Tenggara pada Abad ke XVII dan XVIII M. Sebagaimana yang ditulis oleh Andaya, bahwa Jambi di pertengahan abad ke 17 M, adalah Kesultanaan termakmur di Sumatera, mengalahkan Kesultanan Palembang, 'saudara' terdekatnya. kemakmuran secara ekonomi ini terjadi karena penguasanya Sultan Agung atau dikenal pula dengan Sultan Abdul Jalil berhasil mengontrol dan memonopoli perdagangan di sepanjang Sungai Batanghari hingga ke Pantai Timur di Muara Sabak, dengan lada sebagai komoditas utama. Lada-lada yang berasal dari hulu Batanghari dan bagian Barat Jambi dibawa ke Hilir (pusat kota kerajaan) dan kemudian dijual kepada pedagang-pedagang Asing.

Kemakmuran Jambi makin meningkat setelah sebuah perjanijian dagang dengan VOC dilakukan. Perjanjian ini sebenarnya terpaksa dilakukan oleh Sultan Agung karena VOC membantu Jambi memenangi peperangan melawan Kesultanan Johor dalam memperebutkan Bandar Muara Sabak. Di sisi arkeologis, kejayaan kesultanan Jambi terlihat dari banyaknya koin pitis dari timah yang dikeluarkan oleh Kesultanan Jambi, hal ini menunjukkan bahwa kesultanan Jambi telah mampu mengeluarkan mata uang sendiri.

Gambar 2. Salah satu koin pitis dari Timah yang dikeluarkan oleh Kesultanan Jambi, sumber: koleksi Anniesa Hasibuan

Sayangnya  setelah mangkatnya Sultan Agung, perlahan-lahan Kesultanan Jambi mengalami kemerosotan ekonomi. Hal ini, dikarenakan banyak faktor seperti: (1) persaingan dagang dengan Kesultanan  lain di Sumatra terutama Palembang; (2) hutang para pejabat Kesultanan Jambi yang terus meningkat pada VOC; (3) kekalahan Jambi terhadap serangan balasan dari Johor pada masa bertahtanya Sultan Abdul Muhyi atau Sultan Anom Sri Ingalaga (putra Sultan Agung); (4) memburuknya hubungan Jambi dan Palembang akibat perselisihan antar keluarga Kerajaan; (5) memburuknya hubungan Jambi dengan VOC, bahkan dengan tragis Sultan Anom Sri Ingalaga yang pada akhirnya melawan VOC, diasingkan ke Pulau Banda dan wafat disana.

Setelah VOC menyingkirkan Sultan Anom, pewaris tahta Kesultanan Jambi berhasil diadu dombanya pula, hal ini mengakibatkan VOC semakin leluasa mengontrol perdagangan di sepanjang Batanghari dan mengendorkan kekuasaan Sultan. Pada masa itu, terjadi perebutan kekuasaan di antara anak Sultan Anom, Sultan Kiai Gede yang disokong VOC bertahta di Keraton Tanah Pilih, bagian Hilir Jambi (Kota Jambi sekarang), sementara adiknya Sultan Sri Maharaja Batu menyingkir ke wilayah pedalaman mendirikan keraton Baru di Mangunjayo yang disokong oleh rakyat Jambi di pedalaman serta Kerajaan Minangkabau.

Pada masa-masa ini perekonomian Jambi tidak sejaya dulu lagi, perekonomian Jambi disokong oleh VOC dan Kesultanan yang menjadi 'saudara' dan jirannya. Bahkan hingga berdirinya pemerintahan Kolonial Belanda, Sultan Jambi yang bertahta di wilayah Hilir dikontrol kekuasaannya oleh pihak Belanda, di mana setiap pergantian Sultan, wajib atas persetujuan pihak Belanda dengan membuat perjanjian setiap kali pergantian tahta tersebut. 

Namun, ketika Sultan Thaha Syaifuddin bertahta di pertengahan abad ke 19 M, dia secara tegas menolak mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda, dan dengan gagah berani mengangkat senjata melawan Belanda, dia beserta keluarga dan pengikutnya akhirnya memilih meninggalkan istananya di Tanah Pilih dan berundur ke pedalaman Jambi di wilayah Tebo. 

Sultan Thaha sangat gencar melakukan serangan-serangan gerilya melawan Belanda hingga Belanda kewalahan menghadapinya. Akibat peperangan dengan Sultan Thaha, Belanda membakar istana (Keraton) Kesultanan Jambi di Tanah Pilih (tempat berdirinya Masjid Alfalah sekarang) pada tahun 1858 M. Hal ini mengakibatkan sedikit sekali tinggalan arkeologis yang dapat menceritakan kejayaan Kesultanan ini di masa lalu.

gbr-59ec4a82a01dff3c586500c6.jpg

Cerita akhir dari Kesultanan Jambi adalah ketika Sultannya, Sultan Thaha pada  masa uzurnya, syahid tertembak di Tanah Garo, Tebo pada tahun 1904, dalam usahanya melawan penjajahan Belanda. Setelah itu, nama Kesultanan Jambi benar-benar dihapuskan oleh pihak Belanda, Jambi kemudian  tidak lebih dari sebuah wilayah yang menjadi bagian Keresidenan Palembang.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline