Kontak Dagang dan Awal Mula Mengenal Tulisan
Menjadi hal yang patut dibanggakan bahwa bangsa Indonesia memiliki ragam kebudayaan termasuk dalam hal tulis menulis. Ada berbagai aksara tradisional yang berkembang dan digunakan oleh suku-suku asli yang berdiam di pulau-pulau nusantara sebut saja surat Batak yang digunakan oleh suku bangsa Batak di Sumatera, aksara Sunda, Aksara Jawa, aksara Bali, dan aksara Lontara yang digunakan oleh suku Bugis.
Lahirnya sebuah aksara tidak lain karena kebutuhan manusia untuk berkomunikasi secara tidak langsung, aksara merupakan simbol-simbol bunyi sebagai ciptaan manusia sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Agar simbol-simbol bunyi itu dapat dimengerti diperlukan adanya kesepakatan suatu kelompok manusia dalam menggunakan simbol-simbol (aksara) itu.
Sepanjang riwayatnya, leluhur bangsa Indonesia sejak zaman prasejarah telah melakukan komunikasi secara tidak langsung melalui lukisan-lukisan pada gambar cadas seperti yang ditemukan di situs perbukitan karst Maros-Pangkep Sulawesi, situs perbukitan Karst Sangkulirang-Mangkalihat Kalimantan, Gambar Cadas Gua Harimau, Sumatera dan berbagai tempat lainnya di Kepulauan Timur Indonesia.
Lukisan-lukisan ini menjadi objek kajian menarik bagi para arkeolog masa kini untuk ditafsirkan maknanya, dicari informasi rahasia yang ada di dalamnya, walaupun terpaut waktu yang sangat jauh dengan si pelukisnya.
Perkenalan dengan tulisan bagi leluhur bangsa Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa India. Sejak dikuasainya teknologi pelayaran, kontak dengan bangsa India yang ada di Asia Selatan semakin intens sehingga terbentuk sebuah jaringan perdagangan (Bellwood, 2000). Bukti-bukti arkeologis berupa manik-manik dan gerabah bergaya India yang ditemukan di situs Sembiran dan Pacungan Pantai Utara Bali, serta temuan-temuan di pesisir Timur sumatera menunjukkan adanya sebuah jaringan perdagangan antar-bangsa yang di mulai sejak awal milenium Masehi (lihat Calo, 2016).
Aksara Pallawa yang berkembang di India Selatan kemudian diperkenalkan oleh Bangsa India kepada leluhur bangsa Indonesia, tentu hal ini bertujuan untuk kelancaran komunikasi dalam perdagangan yang melibatkan antar bangsa.
Pada akhirnya pengaruh India makin kuat bahkan sistem pemerintahan dan agama yang ada di India digunakan oleh penguasa lokal Nusantara, dari sinilah mulai muncul kerajaan bercorak Hindu-Budha di Indonesia. Aksara-aksara Pallawa ini digunakan untuk menulis prasasti-prasasti oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha terawal di Indonesia seperti yang terdapat pada prasasti Yupa Kalimantan, Prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara, Jawa Barat, dan Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Pada masa berikutnya, aksara pallawa berserta sistem penulisannya yang murni India berkembang dengan gaya lokal Nusantara. Dari aksara Induk yaitu aksara Pallawa muncullah aksara Jawa Kuno (Kawi), Aksara Sumatra Kuno (Seperti yang ada pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah Kerinci, Prasasti Minye Tujoh Aceh, dan Prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat) dan aksara Bali Kuno. aksara-aksara ini merupakan aksara serumpun yang oleh Kozok (2006) disebut sebagai aksara pasca-Pallawa. Sayangnya, aksara-aksara pasca-pallawa ini hampir lenyap di Sumatera setelah kedatangan aksara Arab-melayu (Jawi), namun di Jawa dan Bali aksara-akasara ini terus berkembang dan mengalami beberapa perubahan.
Surat Incung: Riwayat dan Problemnya
Di Sumatera, selain dijumpai adanya turunan aksara Pallawa juga dijumpai aksara-aksara unik dan khas yang digunakan oleh suku-suku tertentu di sana seperti aksara surat Batak yang digunakan oleh Suku Batak di Sumatera bagian Utara, Surat Ulu yang digunakan di Pasemah dan Rejang di Sumatera Selatan-Bengkulu, Aksara Lampung yang digunakan di wilayah Lampung, dan surat Incung yang digunakan oleh suku Kerinci di Jambi.