Lihat ke Halaman Asli

Miftakhul Hafidz Sidiq

Ordinary Learner

Dari Kanal Batavia hingga Kanal Jakarta

Diperbarui: 29 Agustus 2022   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali di Jakarta (difoto oleh Tom Fisk)

Awal abad ke-17 DKI Jakarta masih bernama Kota Batavia, dan pada 1670 tercatat Kota Batavia mengalami banjir yang melanda sebagian besar kota tersebut. Bukannya tidak ada upaya pencegahannya, bahkan Kongsi Dagang Belanda (VOC) saat itu sudah membangun Kanal di Batavia. Meski kanal dibangun, air tidak mengalir dengan baik. Bahkan beberapa kali kanal tidak mampu menampung air.

Munculnya pabrik gula pada abad ke-18 semakin memperburuk keadaan. Demi membangun pabrik gula, pohon harus ditebang dan batangnya dibuang ke Kali Ciliwung. Operasi pabrik juga menerapkan pola pembuangan limbah yang sama, ampas tebu dibuang begitu saja ke Kali Ciliwung. 

Meski begitu, VOC sudah memiliki agenda untuk memindahkan markas besarnya ke Semarang, sebelum akhirnya mereka bangkrut. (Bondan Kanumoyoso, 2013)

Selama ratusan tahun, perancang kota hanya berfokus dengan pembangunan drainase horizontal dan tidak ada ide untuk mengonservasi air. Padahal, mengatasi banjir bukan hanya meningkatkan kapasitas saluran, namun juga mengurangi air di permukaan. 

Seperti pada kasus pembangunan Menteng pada awal abad ke-20, sistem pengendali banjirnya juga dipersiapkan yaitu Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai, meski hanya seluas 400 ha, sistem tersebut bekerja dengan baik pada masanya. Namun saat ini dipandang sudah tidak bisa mengatasi banjir lagi. (Marco Kusumawijaya, 2013)

Hingga saat ini masalah banjir terutama di kota Jakarta masih belum bisa diatasi. Pada awal tahun 2020 saja menurut data dari BMKG, DKI Jakarta sudah dihampiri banjir yang merendam setidaknya 157 kelurahan dari total 261 kelurahan yang berada di DKI Jakarta. 

Banjir pada awal tahun tersebut berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 7 hari. Selama terjadinya bencana banjir tersebut terjadi berbagai kerugian yang ditaksir mencapai angka Rp. 960 miliar.

Masalah banjir ini tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Membaca dan menggali pengetahuan yang hilang dari masyarakat seputar konservasi air sangat diperlukan.

Berkaca dari negara lain seperti Tokyo dan Paris yang pernah mengalami banjir besar pada masa lampau hingga akhirnya bisa teratasi, sangat mungkin bagi kota-kota besar di Indonesia terutama DKI Jakarta untuk mengikuti jejaknya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline