Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Pemimpin yang Dicintai Rakyat

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepertinya kemarin dalam status saya di facebook (fb.com/hafizshalihin), saya telah menyinggung tentang figur seorang pemimpin yang dicintai dan dirindukan oleh rakyat. Seperti apakah sosok pemimpin yang dicintai rakyat dan dekat dengan hati rakyat, maka hari ini saya akan sedikit membahas tentang "Pemimpin Yang Dicintai Rakyat", dan masalah yang terjadi dewasa ini, antara hubungan pemimpin dan rakyat.

Rasanya tidak mudah pada saat sekarang ini menemukan pemimpin yang benar-benar dicintai rakyat. Kecintaan terhadap pemimpin seperti itu biasanya muncul oleh karena adanya ketulusan, keikhlasan, dan selalu memberi ketauladanan. Pada zaman demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin seperti itu agaknya sulit ditemukan. Seorang menjadi pemimpin karena dipilih rakyat. Akan tetapi dalam proses pemilihan itu banyak terdengar adanya transaksi, misalanya siapa membayar berapa, kepada siapa, dan seterusnya.

Proses menjadi pemimpin yang diwarnai oleh transaksi antara yang memilih dan yang dipilih, maka nuansanya tak ubahnya orang di pasar. Hubungan antara rakyat dan pemimpin mirip dengan penjual dan pembeli. Tatkala masih terjadi tawar-menawar, antara keduanya kelihatan saling mendekat. Akan tetapi ketika barang yang diperjualkan tersebut sudah jatuh ke tangan pembeli dan sejumlah harga sudah dibayar, maka hubungan itu akan putus dengan sendirinya. Begitu pula hubungan pemimpin dan yang dipimpin, tatkala transaksi sudah terjadi, maka hubungan itu juga menjadi putus.

Sejak zaman proses menjadi pemimpin diwarnai oleh transaksi-transaksi seperti itu ternyata banyak membawa korban. Para pemimpin bukan saja dijauhi oleh rakyatnya, tetapi juga lebih dari itu bias membawa resiko yang amat tinggi. Tidak sedikit pemimpin, misalnya sebagai Bupati, Walikota, Gubernur, dan bahkan Kepala desa, ternyata harus berurusan dengan pengadilan. Mereka itu dituduh menyimpangkan uang Negara dan akhirnya diadili kemudian dipenjara. Jumlah mereka yang seperti itu cukup banyak, da nada dimana-mana.

Jabatan kepala daerah diberbagai levelnya mirip komoditas yang di perjualbelikan. Mereka yang membeli tidak saja berkeinginan  duduk sebagai pejabat, melainkan berharap mendapatkan keuntungan ekonomis. Menduduki jabatan sama artinya dengan bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Pemimpin seperti ini menjadi layak manakala kemudian tidak dicintai rakyat. Rakyat sudah merasa membayar kepada pemimpinnya, maka sebaliknya pemimpin ditunggu untuk menunaikan kewajibannya.

Untuk mengembalikan agar pemimpin dicintai oleh rakyatnya, maka tidak ada cara kecuali memperbaiki hubungan antara keduanya kembali. Hubungan transaksional harus diubah lagi menjadi hubungan pemimpin dan rakyat atas dasar ketulusan, keikhlasan, ketauladanan, kasih saying dan serupa itu lainnya. Pemimpin memang harus memiliki kelebihan yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Kebutuhan itu tentu bukan saja yang bersifat material, melainkan justru yang bersifat immaterial.

Akhir-akhir ini posisi ini pemimpin terasa seperti terdegradasi. Selain tidak selalu dihormati, mereka juga seringkali dikritik habis-habisan. Bahkan ada juga pemimpin yang atau kepala daerah yang berhentikan di tengah jalan. Namun juga anehnya, dalam suasana seperti itu, di mana-mana masih banyak orang yang berkeinginan mejadi pemimpin. Posisi kepala daerah atau lainnya tranyata masih di perebutkan oelh banyak orang.

Resiko dan biaya yang sedekimian besar tersebut ternyata belum bias menyurutkan nafsu orang memburu posisi tersebut. Bisa jadi, hal itu didorong oleh adanya idealism, atau juga sebaliknya, sekedar mencintai nafsu mencintai jabatan. Umpama keinginan mejadi pemimpin atau pejabat didorong oleh nilai-nilai idealism yang tinggi, yaitu untuk memajukan dan menyejahterkan rakyat, maka betapaun kiranya, mereka akan dicintai oleh rakyat yang dipimpinnya.

Dalam suasana menjelang pilpres bahkan sudah H-1 pemilihan pemimpin bangsa, pemimpin yang akan mengarungi samudra persoalan dan segala problematika bangsa. Maka yang ada di benak kita hari ini bukan lagi tentang siapa pilihan kita, tapi langkah apa yang bisa membuat hubungan sejatinya antara pemimpin dan yang dipimpin?. Wallahu a’lam. [Hafidz Shalihin/Selasa, 8 Juli 2014]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline