Kemiskinan, salah satu problem belum terselesaikan di negeri ini, bukti ketika Tapera menjadi satu fenomena bisa dibilang realitas harus diterima oleh semua, terlebih gen z. Benar, karena ketidakmampuan generasi satu ini dalam membeli rumah pemerintah menerbitkan Tapera, berdasarkan logika ini secara tulus bisa dikatakan gen z miskin.
Kesejahteraan memang ada di mana-mana dalam gadget, tetapi sangat jauh dalam kehidupan sehari-hari generasi satu ini. Bukan cuma kesulitan membeli rumah, tetapi juga kesulitan persaingan mendapatkan pekerjaan menenggelamkan mereka.
Dari sini kita akan mencoba mengupas masalah rumit ini secara detail, kita akan dengan senang berusaha mengerti kesulitan dialami gen z, mengapa mereka begitu terjerembap dalam lubang kemiskinan, lantas kenapa dialami kemiskinan begitu melelahkan.
Lebih jauh lagi, kami akan memberikan contoh bermacam hal lebih baik untuk dihindari dalam mencapai kesejahteraan. Memang benar tidak menjamin keberhasilan, tetapi bisa dipastikan memperbesar peluang menuju ke sana.
Perfectionism
Kita semua mengerti semua terlihat sempurna dalam sosial media, bahkan gen z dalam sosial media bisa dibilang berhasil mengalahkan realitas kemiskinan secara keseluruhan. Kesempurnaan dalam berpenampilan, berkeluarga, bersekolah, semua aspek terlihat begitu sempurna selama berada dalam sosial media.
Kesempurnaan semacam ini mendorong problem baru bagi generasi ini, mereka merasa kesulitan puas atau kegagalan dalam mengejar sesuatu ketika dipertontonkan dengan kesempurnaan semacam ini di mana-mana, atau lebih tepat lagi dalam gadget mereka.
Mengejar kesempurnaan semacam ini cuma akan mendorong kemalasan akan mengejar semua impian sudah direncanakan. Bagaimanapun, perubahan konsep kesempurnaan akan selalu lebih cepat ketimbang semua hal sudah teraih, dan mengejar semua ini juga tidak akan pernah menimbulkan kesenangan.
Kelelahan digital
Dikelilingi oleh paparan sinar digital secara konstan tak terbantahkan sering membuat kita merasa kelelahan, terlebih ketika iklan berubah menjadi lebih singkat dan sering, sebagai penonton secara tidak langsung kita dipaksa untuk tetap berada di sana menunggu iklan selesai.
Selain itu, kita juga mengerti tentang bagaimana orang-orang di luar sana mem-posting momen mereka dalam sosial media, mengonsumsi konten semacam ini bisa dibilang melelahkan, terlebih ketika pengguna memberi perhatian lebih.
Belum lagi, narasi berita-berita di media massa, terutama sejumlah media yang mulai berpikir lebih mementingkan jumlah klik ketimbang isi konten. Fakta di mana kita bisa memberi perhatian terhadap sesuatu tidak dikenal saja sudah melelahkan.