Beberapa minggu yang lalu para pecinta sejarah di Kota Surabaya sempat dihebohkan dengan dua artikel berita dari Harian Surya dan Tribun Jatim tertanggal 23 Mei 2019 yang berjudul "Benteng-Bunker Milik Swasta, Pemkot Surabaya Gagal Ubah Jadi Destinasi Wisata", dan "Pemkot Surabaya Kubur Impian Jadikan Bunker di Kaki Suramadu Destinasi Wisata, Jatuh ke Pihak Swasta".
Bak petir di siang bolong, berita ini seolah menjadi kabar buruk mengingat Kota Surabaya saat itu sedang melaksanakan momen hajatan yang ke-726 yang bertepatan pada tanggal 31 Mei 2019. Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi?
Dalam artikel Tribun Jatim tersebut tertulis bahwa informasi pergantian kepemilikan Benteng Kedung Cowek baru diketahui oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya ketika mereka sedang berkomunikasi dengan jajaran pihak Kodam V Brawijaya selaku pemilik Benteng Kedung Cowek guna perencanaan Benteng sebagai kawasan destinasi wisata.
Mengetahui hal tersebut pihak Disbudpar hanya bisa pasrah. Mereka mengatakan tidak akan lagi mengincar benteng tersebut sebagai destinasi wisata sejarah (Sumber).
Dalam artikel tersebut tidak dijelaskan alasan apa dan mengapa benteng tersebut bisa "tukar guling" ke pihak swasta. Ironis memang, karena sampai saat ini status benteng tersebut belum ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
Artinya kapanpun bangunan peninggalan Belanda tersebut bisa dirobohkan tanpa ada perlindungan hukum. Padahal sudah banyak pemerhati dan komunitas sejarah Surabaya yang menuntut agar benteng tersebut segera ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Komunitas Roodebrug Soerabaia salah satunya.
Salah satu founder komunitas tersebut, Ady Setyawan bahkan harus sampai ke Belanda guna mencari blueprintnya. Dalam lawatan ke Belanda tersebut ia berhasil membukukannya dalam judul Benteng-Benteng di Surabaya. Tak sampai disitu, ia juga pernah diundang oleh pihak Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya untuk mempresentasikan hasilnya.
Namun sampai sekarang belum ada tindakan preventif dari pihak Tim Ahli Cagar Budaya Surabaya untuk segera menjadikannya sebagai Cagar Budaya. Bahkan dalam suatu berita pada bulan April 2018 mereka menyebut bahwa bangunan tersebut adalah peninggalan Jepang. Aneh bukan? Bagaimana bisa bangunan yang sudah dibangun sejak tahun 1910 - berdasarkan hasil risetnya - ini sebagai bagian dari peninggalan Jepang, padahal dalam sejarah Indonesia sudah jelas bahwa Nippon (sebutan Jepang pada saat itu) baru masuk ke Indonesia pada tahun 1942.
Tak tinggal diam atas dua pemberitaan diatas sebagai reaksinya pada tanggal 9 Juni 2019 kemarin komunitas Roodebrug Soerabaia bersama komunitas lintas sejarah lainnya mengadakan acara diskusi bertajuk "Benteng Kedung Cowek; Sebuah Fragmentasi Berkelanjutan" di Hotel Majapahit, Surabaya.
Acara ini turut dihadiri oleh berbagai kalangan seperti pegiat sejarah, pegiat wisata, serta para ahli Cagar Budaya dan pajabat terkait. Retno Hastijanti dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya menguatkan bahwa memang benar bahwa lahan benteng Kedung Cowek masih dalam proses tukar guling dari pemilik (dalam hal ini Kodam V Brawijaya) ke pihak swasta (dalam hal ini PT. Kapal Api) dan prosesnya masih di Kementerian Keuangan.