Artificial Intelligence (AI) telah menjadi salah satu inovasi teknologi paling signifikan di abad ke-21, dengan dampak yang luas di berbagai sektor kehidupan. Dari asisten virtual seperti Siri dan Alexa, hingga sistem pengenalan wajah yang digunakan dalam keamanan publik, AI telah memberikan kemudahan dan efisiensi yang sebelumnya tidak terbayangkan. Di tengah semua manfaat ini, AI juga mulai menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait dengan penyalahgunaannya dalam kehidupan sosial.
Bagaikan pisau bermata dua, dari sekian banyak kemudahan dan solusi praktis dalam penggunaan AI terdapat pula ber bagai macam ancaman dan resiko yang memungkinkan dari penggunaan AI. Penggunaan AI yang tidak tepat, seperti dalam manipulasi informasi, pelanggaran privasi, hingga diskriminasi berbasis algoritma, semakin sering terjadi. Penyalahgunaan ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga mengancam tatanan sosial secara lebih luas. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana AI dapat disalahgunakan serta dampak sosial yang diakibatkannya.
Seiring dengan perkembangan AI serta semakin canggihnya device atau hardware yang digunakan untuk memproses data ataupun informasi, kini banyak sekali software maupun aplikasi editing media yang mendapat support dari AI itu sendiri. Akibatnya, kini kita banyak melihat banyak unggahan di media sosial dalam bentuk gambar maupun audio visual yang menampilkan hasil editing AI ataupun full generate melalui sebuah perintah yang biasa kita sebut sebagai promt. Kita bisa meminta bantuan AI dari sebuah sumber media yang kita miliki agar diedit sesuai apa yang kita inginkan, seperti membuat gambar kita bergerak atau mengubah sebuah video pendek menjadi video baru yang biasa pengguna media sosial sebut sebagai 'alternatif ending'. Bahkan hanya dengan bermodal sebuah kalimat perintah atau prompt kita dapat memerintahkan AI untuk mengenerate sebuah audio maupun visual. Sejauh pengamatan saya, penggunaan AI di media sosial yang beredar di Indonesia mayotitas bertujuan untuk entertain atau sebatas hiburan semata. Akan tetapi mengingat begitu mudahnya AI ini digunakan semakin banyak pula penggunanya. Tidak perlu keterampilan khusus untuk menggunakan AI, hanya butuh device, software dan source seminimal mungkin berupa promt.
Semakin banyak pengguna semakin besar pula resiko. Tiap pengguna punya maksud dan tujuan masing masing dalam penggunaan AI. Jika AI bisa membantu manusia berbuat baik, maka begitu juga sebaliknya, AI juga dengan gampang mampu membantu manusia melakukan tindak kejahatan yang merugikan orang lain. Belum lama ini jagat maya digegerkan dengan sebuah video Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rahmadani yang menyatakan pihaknya bakal menggelontorkan bantuan sebesar Rp1,5 miliar untuk 20 Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dalam video yang tersebar luas di media sosial facebook itu, Benny tampak menyampaikan bantuan tersebut disalurkan pihaknya untuk para PMI sebab mereka adalah pahlawan devisa yang sudah menyumbang pemasukan negara yang sangat besar. BP2MI langsung angkat bicara memberi klarifikasi mengenai kebenaran video yang sudah kadung tersebar kemana-mana tersebut. BP2MI menyebut video itu mengandung informasi menyesatkan alias hoaks. Itu sengaja disebarkan oknum tak bertanggung jawab untuk mendapat keuntungan pribadi. Fenomena tersebut biasa disebut dengan 'deepfake'. Deepfake bukanlah hal baru, beberapa kasus deepfake sudah pernah terjadi di beberapa tahun lalu dan bukan di berbagai negara. Salah satu contoh penyalahgunaan AI yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial adalah penggunaan teknologi deepfake untuk menipu dan menciptakan kebohongan digital. Pada tahun 2023, sebuah perusahaan di Hong Kong mengalami kerugian finansial besar ketika seorang karyawan tertipu dalam sebuah panggilan video deepfake yang menampilkan orang-orang berpengaruh dari perusahaan tersebut. Melalui manipulasi video, orang yang diduga sebagai CFO perusahaan menginstruksikan transfer dana sebesar 200 juta dolar Hong Kong, yang ternyata merupakan bagian dari skema penipuan. Selain itu, AI juga telah digunakan untuk menyebarkan informasi palsu dalam konteks politik. Misalnya, pada tahun 2023, deepfake suara pemimpin dunia digunakan untuk menciptakan kebingungan politik dan polarisasi sosial di beberapa negara, seperti Sudan dan Slovakia. Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana AI, khususnya dalam bentuk deepfake, dapat disalahgunakan untuk memanipulasi informasi, merugikan individu maupun organisasi, serta menciptakan kerusakan sosial yang luas.
Penggunaan AI yang semakin meluas dalam berbagai aspek kehidupan telah membawa dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif. Namun, penyalahgunaan AI juga menjadi masalah serius, terutama dalam hal etika dan tanggung jawab sosial. Misalnya, deepfake sering digunakan untuk menyebarkan disinformasi dan memanipulasi persepsi publik, yang dapat mengakibatkan kerugian reputasi, kebingungan politik, atau bahkan ketidakstabilan sosial. Selain itu, di sektor pendidikan, penyalahgunaan AI oleh siswa dan mahasiswa untuk menyalin tugas atau menjawab ujian mengurangi integritas akademik dan proses pembelajaran yang sebenarnya. Di Indonesia, fenomena ini semakin terlihat dengan adanya siswa yang memanfaatkan AI untuk tugas-tugas akademik secara tidak etis. Meskipun beberapa penggunaan AI untuk mendapatkan ide atau referensi dianggap wajar, menyalin langsung dari AI merusak esensi pendidikan. AI, jika tidak digunakan secara bijak, dapat mengikis kemampuan berpikir kritis dan kreativitas yang penting untuk pengembangan individu. Pada sektor lain, seperti hukum, penggunaan AI untuk melakukan riset secara instan menimbulkan gugatan terkait akurasi data dan perlindungan privasi. Penyalahgunaan ini menunjukkan bahwa teknologi AI, meskipun canggih, membutuhkan regulasi yang jelas dan tanggung jawab dalam penggunaannya. Selain dari segi regulasi, kita sebagai pengguna internet harus lebih berhati hati dalam menerima informasi apapun yang beredar. Dan kita sebagai creator atau pengguna AI harus lebih bijak dalam membuat atau menyebar luaskan konten di internet agar tidak merugikan orang lain ataupun kelompok.
Penyalahgunaan AI di berbagai sektor menimbulkan masalah serius, mulai dari pelanggaran etika hingga hilangnya nilai-nilai mendasar dalam pendidikan dan profesi. AI bukanlah alat yang sepenuhnya netral, dapat membawa manfaat besar jika digunakan secara bertanggung jawab, tetapi juga berpotensi merusak jika disalahgunakan. Maka dari itu, diperlukan kesadaran, regulasi, dan edukasi yang lebih baik mengenai penggunaan AI agar teknologi ini dapat digunakan dengan bijak dan tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H