Lihat ke Halaman Asli

Regenerasi Pendidikan sebagai Refleksi terhadap Pengajaran ala Ki Hajar Dewantara

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14305587061133606095

Pendidikan adalah kunci peradaban. Buku adalah jendela pengetahuan. Sedangkan, pengetahuan adalah akar dari pemikiran. Kedalamannya diukur dengan pemahaman. Dan guru adalah penunjuk arahnya.


Begitulah permulaan paragraf tentang pentingnya pendidikan.

Yuk sejenak menyusuri lorong waktu bagaimana perjalanan seorang tokoh pendidikan Indonesia yang tanggal lahirnya bahkan dijadikan sebagai hari nasional.

Ki Hajar Dewantara, nama aslinya Raden Mas Soewardi, adalah orangnya. Hidup beliau didedikasikan untuk memperjuangkan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Pada mulanya, beliau adalah jurnalis di beberapa surat kabar, seperti: Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Beliau juga aktif dibidang sosial politik Budi Utomo. Kemudian bersama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij. Dalam karirnya di Indische Partij, mereka menyerukan tentang nasionalisme dan pendidikan untuk pribumi.

Tulisannya yang berjudul Seandainya aku seorang belanda, membawanya ke negeri belanda untuk menjalani pengasingan. Disana bukan malah terasing, beliau belajar dan menuntut ilmu. Bahkan sepulangnya dari pengasingan, beliau pulang ke Jogja dan mendirikan Taman Siswa. Disanalah, pelajar pribumi ngerti(mengetahui), ngrasa (memahami), ngalkoni (melakukan). Pemikiran dan dasar pendidikan serta kebudayaan juga berkembang.

Nah di era sekarang memang sudah banyak kaidah yang diterapkan di dunia pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Misalnya tentang Student Learning Center. Tujuannya jelas sangat mulia dengan menempatkan penuntut ilmu sebagai subjek yang melakukan dan mencari tahu sendiri. Sayangnya, penerapan di lapangan macet. Kelas menjadi dingin dan kaku.

Guru bertanya, ”Apakah ada yang kurang mengerti?”

Siswa hanya diam.

Muncul lah dua spekulasi. Apakah murid benar-benar mengerti pelajaran yang disampaikan atau tidak mengerti sama sekali. Sebagai murid, saya paham betul kalau kenyataannya murid tidak mengerti apapun dan tidak mendapat apapun sepulang sekolah. Hanya datang duduk diam, pulang.

Solusinya dengan memastikan kegiatan dalam kelas adalah dalam kondisi paham terhadap apa yang dipelajari. Presentasi dikelas misalnya, penyaji harus dipastikan dahulu mengerti benar apa yang akan disampaikan dan pendengarnya harus dipastikan mengetahui sedikit apa yang akan dipelajari hari itu. Sehingga suasana kelas hidup. Guru tinggal mengarahkan alur sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline