Rasanya negeri ini sedang mengalami ujian yang sangat berat. Bagaimana tidak negeri yang menyandang “Negara Hukum” ini ternyata dalam proses penegakan hukumnya masih menemui berbagai persoalan yang begitu rumit. Akhir-akhir ini misalnya untuk kesekian kalinya dua lembaga penegak hukum di negeri ini terlibat kasus “perselisihan” yang cukup menyita perhatian publik. Dimana sebelumnya kasus ini sangat senter diberitakan dengan lanjutan kasus “Cicak Buaya”. Ironis memang, dua lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan tindak pidana kiminal (korupsi) sedang berseteru.
Bermula dari ditersangkakan (Calon Kapolri) Komjen Budi Gunawan (BG) oleh KPK karena kasus kepemilikan rekening gendut dan transaksi yang tidak wajar, menjadikan Polri bertindak cepat dengan menyiapkan Bantun Hukum kepada BG selaku tersangka. Tidak sampai disitu, untuk mengcounter apa yang dituduhkan KPK kepada BG, KPK berbalik dilaporkan ke Bareskrim tentang berbagai khasus diantaranya terkait keterangan palsu, pemalsuan dokumen dll.
Apa yang dilakukan KPK terhadap BG bagaikan “bola panas” bagi KPK, hal ini karena setelah BG menyandang gelar tersangka, tidak berselang lama, empat komisioner KPK di laporkan ke Polisi kerena berbagai kasus “historis” yang dituduhkan dari beberapa pihak. Semua komisioner KPK secara bertubi-tubi dilaporkan ke Bareskrim Polri. Setelah Abraham Samad dan Adnan Pandu, terakhir Zulkarnain dilaporkan ke Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri oleh Presidium Aliansi Masyarakat Jawa Timur. dengan bertubi-tubinya ujian yang diterima KPK tersebut sejumlah pengamat berpendapat bahwa KPK sudah berada dalam titik nadir alias lumpuh.
Padahal kalau kita tinjau lebih jauh, di depan masih ada setumpuk persoalan yang perlu diselesaikan, yang tidak lain diakibatkan oleh penjahat kerah putih ini. Diantaranya persoalan yang paling gres dan mungkin belum terekspos media adalah kasus Sigit Priadi Pramudito, yang diduga melakukan transaksi yang tidak wajar, karena pada tahun 2009 harta Sigit mencapai lebih dari 13 Miliyar sedangkan pada 31 desember 2011 penelusuran PPATK jumlah kekayaan Sigit mencapai 21,8 Miliyar hal ini sungguh menajubkan apalagi Sigit Priadi sekarang menjadi Dirjen Pajak.
Perlunya Integritas Antar Lembaga Penegak HukumNegara
Melihat kondisi seperti itu tentunya kita sebagai anak bangsa ini patut merasa prihatin dan tentunya miris, karena banyak oknum yang memimpin lembaga negara minus integritas yang berakibat tugas dan fungsinya lembaga yang dipimpin kurang bisa berjalan secara maksimal.
Salah satu contohnya, Lembaga Polri yang fungsinya sangat strategis bertugas sebagai pengayom masyarakat saat ini mengalami kekosongan pemimpin, Hanya ada sebatas Plt.Kapolri, sedangkan Plt.Kapolri ini memiliki keterbatasan untuk mengambil kebijakan yang dianggap urgent demi kepentingan NKRI.
Dipihak lain beberapa komisioner KPK yang dilaporkan karena terlibat beberapa khasus, secara tidak langsung bisa menghambat kinerja KPK untuk memberantas Korupsi di bangsa Indonesia ini.
Tiga lembaga tersebut kami anggap sangat urgent karena POLRI sebagai pengayom masyarakat dan mengamankan keamanan negara. KPK sebagai Pemberantas Korupsi dan PAJAK sebagai penopang pendapatan Negara. Jika ketiga lembaga tersebut tidak bisa berjalan secara maksimal atau kurang baik maka kedaulatan NKRI akan terancam dan Indonesia malu di kanca internasional.
(Masih) Tanggungjawab Presiden
Kalau kita telisik lebih jauh lagi, tentang siapakah yang harus bertanggungjawab atas kisruh KPK-Polri ini tidak lain tidak bukan adalah Presiden itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri awal masalah yang berujung konflik ini adalah setelah Presiden Jokowi melontarkan pencalonan Kapolri Budi Gunawan sebagai Kapolri. Pada waktu itu Joko Widodo dengan Hak Preogratifnya mancalonkan BG. Entah apa alasan mengapa memilih BG menjadi calon Kapolri masih menuai perdebatan, yang jells dengan penetapan calon tunggal tersebut berdampak hingga sekarang.
Ironisnya setelah mencuat pelebelan tersangka pada BG, Jokowi terkesan lambat turun tangan dalam penanganan perselisihan ini. padahal rakyat sudah bergejolak dan ingin perseteruan dua lembaga penegak hukum ini berakhir damai. Tak ayal karena dorongan ini maka akhirnya Presiden Jokowi membentuk tim Sembilan yang diketuai Prof Syafii Maarif. Terlepas dari prokontra keefktifan banyaknya orang di belakang jokowi, tapi yang jelas langkah seperti inilah yang ditunggu-tunggu masyarakat, walaupun terkesan lambat.
Tentunya kita harapkan Presiden sebagai lembaga eksekutif yang berabgkat dari pilihan mayoritas masyarakat, juga mengedepankan suara rakyat, lagi pula dalam konteks BG yang notaben sudah menjadi tersangka, kiranya masih banyak lagi abdi Negara dari kepolisisn yang memiliki track record yang jauh lebih berintegritas dan secara kualitas lebih mumpuni.
Berangkat dari peliknya persoalan tersebut, maka Kami gabungan dari berbagai elemen aktivis yang tergabung dalam Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK) sangat menyayangkan kondisi seperti ini. Kami menagih janji Presiden Jokowi terkait Visi-misinya (Nawa Cita) diantaranya menempatkan orang yang sesuai/profesional dalam bidangnya untuk posisi-posisi dilembaga negara ini. Serta meminta agar Jokowi segera menetapkan Kapolri yang baru (Siapapun itu) untuk kepentingan kedaulatan, menyelamatkan institusi KPK dengan mengganti para komisioner KPK yang terlibat khasus dan meminta KPK agar memeriksa dugaan kepemilikan harta yang tidak wajar yang dimilik oleh Dirjen Pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H