Negara Indonesia sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai negara yang subur dan kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan alam yang menjadi tumpuan utama mata pencaharian masyarakat Indonesia adalah hasil pertanian, oleh karenanya Indonesia memiliki sebutan negara agraris yaitu suatu kondisi negara dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani.
Untuk saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di bidang pertanian dikarenakan masih banyak lahan subur yang terdapat di daerah pedesaan. Masyarakat pedesaan pada umumnya bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama mereka. Tanah subur di Indonesia terkenal akan hasil bumi seperti padi, jagung, dan tanaman palawija lainnya. Padi yang menghasilkan makanan pokok masyarakat Indonesia berupa beras menjadikannya tanaman komoditas utama pertanian di Indonesia.
Pada permulaan sejarahnya menjadi tanaman budidaya pokok di Indonesia, padi atau dikenal dengan nama latin oriza sativa diperkirakan berasal dari India atau Indocina kemudian dibawa masuk ke Indonesia oleh nenek moyang yang bermigrasi dari daratan Asia sekitar tahun 1500 SM. Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Dilansir dari laman Dinas Ketahanan Pangan Kota Semarang, beberapa teknik budidaya padi antara lain budidaya padi sawah, budidaya padi lahan kering dan budidaya padi lahan rawa. Adapun dalam kegiatan bercocok tanam padi, terdapat empat tahap yang perlu dilakukan yaitu persemaian, pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (meliputi pengairan, penyiangan, pemupukan), dan masa pemanenan.
Di Kabupaten Gunungkidul sendiri, sistem budidaya padi pada umumnya menggunakan sistem sawah tadah hujan. Yaitu suatu kondisi persawahan yang mengandalkan curah hujan untuk memulai produksi, dengan demikian penanaman padi akan dimulai ketika memasuki musim penghujan. Saat musim penghujan tiba, masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani akan mulai sibuk menyiapkan lahan dan benih untuk memulai kegiatan bercocok tanam. Perlu diketahui para petani di Gunungkidul mempunyai dua teknik penanaman padi yang berbeda tergantung kondisi lahan yang mereka miliki. Sebagian petani di Gunungkidul yang sawahnya berupa lahan berair dan berlumpur pada umumnya menggunakan sistem penanaman bibit yang telah disemai di media persemaian terlebih dahulu sebelum dipindahkan ke lahan persawahan, kemudian petani yang mempunyai lahan kering pada umumnya akan menanam benih langsung di lahan persawahan sehingga tidak melalui proses persemaian dan pemindahan. Sistem tanam benih langsung digunakan oleh mayoritas petani di Gunungkidul dikarenakan kondisi tanah Gunungkidul yang didominasi lahan kering.
Masa tanam biasanya dimulai ketika musim penghujan tiba yaitu sekitar bulan November dengan masa panen yang akan tiba sekitar bulan Februari hingga Maret. Namun pada tahun ini para petani di Gunungkidul banyak yang mengalami telat panen hingga gagal panen. Bagaimana tidak? Berawal dari musim penghujan yang baru dimulai pada bulan Desember lalu membuat petani terlambat untuk memulai masa tanam, bahkan dikarenakan hujan yang tidak tidak merata dan tidak mengguyur beberapa daerah selama beberapa minggu sejak turun hujan pertama kali membuat petani yang telah memulai masa tanam mengalami padi gagal tumbuh, hal tersebut mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi para petani.
Pada pertengahan bulan Januari. masa penanaman kembali dilakukan saat musim hujan dipastikan telah tiba dengan turunnya hujan selama satu minggu berturut-turut dan merata di seluruh wilayah Gunungkidul dan sekitarnya. Namun kendala kembali terjadi ketika memasuki pertengahan bulan Maret, intensitas curah hujan kembali mengalami menipis sehingga pertumbuhan padi yang sangat bergantung pada air hujan terhambat. Para petani yang mayoritas hanya mengandalkan pengairan dari air hujan pun dibuat pasrah dengan keadaan. Baru setelah mendekati akhir puasa Ramadhan atau sekitar awal bulan april, hujan kembali turun bahkan berangsur-angsur mengalami peningkatan intensitas hingga berhari-hari.
Hujan yang kembali turun bertepatan dengan masa panen padi tersebut tidak dapat mengubah banyak hasil yang didapat oleh para petani. Banyak petani yang mengalami kondisi berupa tidak meratanya padi yang sudah siap panen, hal tersebut membuat pemanenan dilakukan secara berangsur atau memanen sebagian padi yang telah menguning terlebih dahulu. Hal tersebut tentu saja membuat para petani bekerja dua kali atau bahasa jawanya mindho gawe, namun juga terdapat sisi baiknya yaitu tidak memerlukan terlalu banyak tenaga dikarenakan dapat dikerjakan oleh dua tiga orang dimana pada umumnya kebiasaan para petani saat masa panen yaitu membutuhkan setidaknya delapan orang untuk membantu kegiatan pemanenan.
Untuk hasil panen tahun ini, beberapa petani mengalami penurunan hasil panen yaitu sekitar 75% daripada hasil yang didapatkan dari setiap panen tahun-tahun sebelumnya. Diperlukan langkah solutif untuk mengatasi apabila kondisi yang sama terulang kembali, mengingat tidak menentunya intensitas hujan dan keterlambatan datangnya musim penghujan kemungkinan adalah dampak dari fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi, dan mungkin masyarakat memerlukan didirikannya salat minta hujan atau salat istisqa untuk meminta bantuan dari Sang Maha Pemberi rizqi. Wallahu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H