Lihat ke Halaman Asli

(Cerpen) Terapung

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[yang ini, ditulis waktu Tsunami Aceh, kalo gak salah diterbitkan di buku sumbangan buat Aceh. Lumayan berkesan bagi saya....]

Terapung

Haekal Siregar

Tertancap paku, aku tidak dapat merasakan sakit lagi sementara bayangan ibu dan istriku di rumah lebih menancap di benakku. Deru air yang menggulung terdengar begitu jelas mendekat, memacu detak jantung dan adrenalinku. Ratusan orang di sekitarku berdesakan dan berlarian mencoba mencari perlindungan.

“Seratus meter lagi!” jeritku memohon.

Sekilas terlihat bayang ibuku yang berlari keluar dari rumah begitu menyadari apa yang terjadi. Sesaat sebelum aku bisa memanggil ibuku, air berkecepatan 250 km/jam itu menggulungku.

Terhempas menghantam tanah, terbentur puluhan balok yang terhanyut, aku menelan begitu banyak air mengandung lumpur, sementara tertarik arus yang demikian deras menghantam. Kucoba membuka mata namun secepatnya menutupnya lagi karena perih terkena asinnya laut.

“Tak ada yang selamat dalam kondisi ini!” ucapku dalam hati pasrah.

Dan aku benar-benar memasrahkan diri dengan mengucap istigfar dan melemaskan seluruh tubuhku. Tepat sebelum sebuah pintu kayu menghantam belakang kepalaku dan menenggelamkan kesadaranku.

***

Dengan kebingungan aku merasakan kedamaian di sekitarku. Mataku masih malas membuka, sementara darah terasa menetes di kepala dan punggungku yang terbentur segala macam benda. Kupaksakan membuka mata dan meneliti keadaan dan sekitarku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline