Jelang Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) serentak 2024, "Partai Cokelat" kembali menarik perhatian masyarakat Indonesia dengan adanya dugaan instansi tersebut menjadi alat simpatisan Jokowi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang netralitas institusi aparat penegak hukum di Indonesia. Apakah tuduhan ini memiliki alasan? Atau tuduhan ini hanya manuver politik saja?.
Pertama kali istilah "Partai Cokelat" Diperbincangkan
Hasto Kristiyanto, selaku Sekretaris Jenderal PDIP, merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah "Partai Cokelat" pada 22 November 2024 ketika diwawancarai. Sekjen PDIP tersebut menyebutkan bahwa "Partai Cokelat" mengarah pada simpatisan Jokowi yang diduga berusaha mempengaruhi hasil dari Pilkada serentak 2024. Pernyataan dari Hasto memicu respon berbagai pihak, termasuk dari anggota DPR RI fraksi Nasdem, Yoyok Riyo Sudibyo, dengan mempertanyakan netralitas dari institusi kepolisian terkait isu tersebut.
Selama periode kepemimpinan mantan presiden Joko Widodo dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kasus kritik yang ditujukan kepadanya telah ditangani oleh aparat kepolisian dengan sangat sigap. Misalnya, pada saat tahun 2018 seorang pemuda telah ditangkap setelah menghina jokowi di akun media sosialnya.
Situasi serupa juga terjadi pada tahun yang sama, seorang pemuda mengancam akan menembak mantan Presiden RI tersebut. Tindakan cepat oleh pihak kepolisian dalam dua kasus tersebut menimbulkan persepsi bahwa institusi ini hanya responsif terhadap penghinaan atau ancaman kepada presiden dibandingkan dengan kasus serupa yang menimpa masyarakat biasa.
Tanggapan Berbagai Pihak Mengenai Isu "Partai Cokelat"
Berbagai reaksi dari beberapa pihak yang mendukung keberadaan "Partai Cokelat" berpendapat bahwa ada upaya terorganisir dari para pendukung Jokowi untuk mempengaruhi demokrasi Indonesia dalam pilkada serentak 2024. Mereka juga mengungkapkan bahwa Jokowi menggunakan posisinya sebagai presiden untuk memperkuat pengaruh politik keluarganya di berbagai wilayah. Yoyok menyampaikan kekhawatirannya mengenai isu tersebut dapat membahayakan kejujuran pemilu yang seharusnya dilakukan dengan adil dan terbuka.
Sama halnya dengan Ketua DPP fraksi PDIP, Deddy Yevri Sitorus, Mengaitkan istilah "Partai Cokelat" dengan beberapa anggota kepolisian yang diduga terlibat mendukung calon tertentu dalam pilkada serentak. Ia mengkritik keras kepada Jenderal Kapolri Listyo Sigit Prabowo, karena penyalahgunaan kekuasaan. Deddy juga menegaskan, keikutsertaan pihak kepolisian dalam pilkada merupakan ancaman serius bagi demokrasi yang bersih dan adil. Mengenai kasus tersebut.
Jendral Kapolri menanggapi terkait isu yang menyebutkan bahwa "Partai Cokelat" merupakan simpatisan Jokowi pada pilkada 2024. Ia juga telah memberikan penjelasan bahwa pihak kepolisian tidak terlibat dalam kampanye maupun mendukung calon tertentu.
Begitu juga dengan Mantan Presiden Joko Widodo ketika menanggapi tuduhan terkait isu "Partai Cokelat" yang bergerak sesuai arahan darinya sebagai simpatisan dalam pilkada serentak 2024. Dalam ucapannya, ia meminta agar semua pihak dapat membuktikan tuduhan yang menghubungkannya dengan "Partai Cokelat" ini.
"Itu dibuktikan saja, jangan hanya tuduhan-tuduhan. Karena bisa dilaporkan ke Bawaslu ataupun ke MK sesuai mekanismenya, " ucap mantan Presiden RI tersebut ke wartawan saat mengunjungi Masjid Raya Medan, Jumat 29 November 2024.