Perekonomian Indonesia sedang kurang sehat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun sekitar 8% selama tahun 2018 menyebabkan nyaris menembus level 15.000 rupiah per dollar. Selain diakibatkan oleh faktor eksternal, salah satu penyebab yang memperparah kondisi ini adalah defisit transaksi berjalan atau Current Accaunt Defisit (CAD) yang semakin melebar. Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan hingga kuartal II tahun 2018 mencapai 8 milyar dolar AS atau 3% dari PDB.
Kondisi defisit transaksi berjalan yang semakin dalam membuat cadangan devisa semakin terkikis. Data terakhir menyebutkan bahwa cadangan devisa Indonesia di akhir bulan Agustus 2018 berada dikisaran 117,9 milyar dolar AS. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang sangat tajam jika dibandingkan dengan kondisi awal tahun 2018 yang masih dikisaran 131,98 milyar dolar AS
Kinerja perdagangan internasional yang kurang memuaskan merupakan salah satu sumber masalahnya. Selama tahun 2018, tercatat sudah 5 kali neraca perdagangan bulanan Indonesia mengalami defisit. Secara keseluruhan, dari bulan Januari hingga Agustus 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai 4,086 milyar dolar AS.
Melonjaknya impor nonmigas patut menjadi sorotan. Pasalnya selama periode Januari hingga Agustus 2018 pertumbuhan impor sektor nonmigas terbilang cukup agresif, mencapai 24,52% dibanding periode yang sama tahun 2017. Pertumbuhannyapun merata disemua golongan penggunaan barang, baik itu barang konsumsi (27,38%), bahan baku/penolong (23,24%), maupun barang modal (29,24%).
Melihat situasi neraca perdagangan yang tidak kunjung membaik, pemerintahpun tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan telah digodog guna menahan laju defisitnya neraca perdagangan, diantaranya adalah kebijakan biodisel 20% (B20), kebijakan menaikkan tarif PPh barang impor untuk 1147 komoditas, penundaan beberapa proyek infrastruktur yang menggunakan banyak bahan impor, hingga subsidi ekspor.
Industri Lesu
Membanjirnya barang-barang impor terutamanya bahan baku/penolong dan barang modal perlu dipertanyakan. Meskipun pertumbuhan kelompok barang tersebut sangat agresif, namun semua itu tidak mampu untuk memompa produktivitas industri tanah air. Hal itu dapat dilihat dari kurang memuaskannya pertumbuhan sektor industri selama kurun waktu semester pertama tahun 2018. BPS mencatat disemester tersebut pertumbuhan sektor industri pengolahan hanya berada dikisaran 4,26% (c to c), jauh berada dibawah laju pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,17%. (c to c).
Lesunya kinerja industri pengolahan merembet ke kinerja ekspor. Hal tersebut dapat dibuktikan selama kurun waktu semester pertama tahun 2018 ini, pertumbuhan ekspor produk industri pengolahan hanya tumbun 6,8% jika dibandingkan periode yang sama ditahun 2017 silam, jauh dibawah pertumbuhan impor bahan baku/penolong.
Jika ditengok jauh kebelakang, performa ekspor industri pengolahan juga dapat dikatakan kurang memuaskan. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor produk industri pengolahan hanya sekitar 1,72% pertahunnya.
Selain karena dipengaruhi lesunya aktivitas industri dalam negeri, seretnya pertumbuhan ekspor industri pengolahan tidak terlepas dari kurangnya variasi produk barang yang diekspor. Sektor industri pengolahan yang selama ini menjadi tumpuan ekspor Indonesia masih bergantung kepada ekspor komoditas hasil kelapa sawit. Padahal harga pasar komoditas tersebut sangat fluktuatif dan berniai tambah minim. Sedangkan komoditas lain yang mempunyai nilai tambah lebih seperti tekstil, bahan kimia, hingga kendaraan bermotor cenderung mengalami stagnasi.
Industri 4.0