Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Hadziq Averroes

Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Warrior's Path 3.

Diperbarui: 12 Juli 2024   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Warrior's Path 3.

Namaku Denki. Dan lebam ini masih sakit.

Aku menatap keluar jendala, kearah sinar matahari pagi diakhir akhir tahun. Aku menyibak rambut di dahi dan berjalan ke arah bingkai jendala, yang lain dan Sensei Qanae sudah berada di lapangan, mendirikan  5 bendera putih di atas penyangganya, satu untuk setiap kami, sebagai tanda keberuntungan. Terkhusus untukku, bendera putih yang dicoreng hitam karena aku sakit.

Aku menggeleng, apa yang dipikirkan tradisi itu, bendera doa. Bagi mereka yang sudah terbiasa, itu hal yang biasa, tapi aku masih belum bisa menerima semua tradisi itu. Aku pindah ke Shijiki ketika berumur sepuluh tahun, bertemu dengan Kiato sebulan kemudian, kemudian menjalani hidup sebagai brandal.

Seperti kisah Kiato, aku sekarat di kaki gunung sebelum ditemukan oleh sensei, dan dia merawatku sejak saat itu, bukankah dia sangat baik. Aku menyentuh bahu, lebam biru bercampur sedikit darah, luka yang kudapatkan ketika latih tanding dengan Kerlin kemarin, dan gadis itu memberi pukulan mematikan dengan tongkatnya.

Angin menerpa wajahku, memainkan helaian rambut tepat di depan mataku. "HEII, Denki, turunlah" Kiato tiba-tiba berteriak kearah ku dari bawah, melambaikan sebelah tangan sedang sebelah lagi memegang benderanya. Walaupun samar, aku bisa melihat luka memar di dagu kanannya, serangan dari Amara yang waktu itu terlihat bagai tusuk sate. Entah kenapa, perempuan dibawah pelatihan sensei dapat begitu menakutkan.

Karena seruan Kiato-lah, yang lain ikut menengadah kearah ku. Amara, diantara lehernya terlihat luka berdarah yang sudah mengering, satu-satunya serangan Kiato yag berhasil diantara seluruh tangkisannya. Kemudian juga Kerlin, ia melihatku setengah lega setengah cemas, sepertinya pukulan memar itu membuatnya merasa bersalah. Tapi lihatlah, ia menyembunyikan telapak kirinya di balik badan, menyembunyikan tangannya yang diperban karena retak tulang akibat salah satu seranganku.

Aku menyeringai, ia juga menerima serangan setimpal. Mataku beralih pada sosok tinggi hampir 190 cm, sensei Qanae, bola matanya yang hitam legam menjurus kepadaku, menohok batinku dengan keras. Pesan itu jelas 'TURUN!'. Aku mengangguk, balik kanan kearah tangga.

Sekali lagi, angin berhembus, sejuk dan bisa mengisi sedikit dari ruang kosong di paru-paruku. Aku turut bergabung dengan mereka, duduk setengah lingkaran menghadap Sensei, disamping Kerlin. Sensei memandang kami berdua sebelum melanjutkan kata-katanya, "melihat bagaimana semangatnya kalian kemarin selama bertanding, dan luka-luka kalian. Aku putuskan agar mengajari kalian tentang kepekaan" matanya beralih pada sepasang burung di dahan pohon beringin.

"kepekaan adalah sebuah pisau bermata dua, jika kalian menggunakannya untuk hal yang tepat, kemampuan itu bisa menjamin kemenangan seratus persen. Sedangkan jika untuk hal yang berlawanan, hal itu dapat menyakiti kalian dengan telak" wajahnya beralih kepada kami, "sama seperti kemarin, 'menuntut mata sebagai penipu', kalian akan menggunakan kepekaan dalam hal ini untuk senjata utama"

WUUNG.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline