Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Hadziq Averroes

Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Warrior's Path 1

Diperbarui: 6 Juli 2024   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Angin berjalan-jalan mengelilingi tempat itu, sinar matahari menngikut bersamanya. Dedaunan di awal musim gugur yang sejuk mulai berguguran, membuat tikar coklat yang tidak akan pernah ditemui di musim manapun.

 Lapangan batu itu sepi, terlebih, karena hanya ada satu orang saja yang mendiaminya. Dengan sebuah pohon beringin berumur awal ribuan tumbuh di salah satu sisinya, lumut sehijau daun merayapi batu batunya. Kecuali area kecil di bagian tengah. Sebuah simbol klan Ma un tercetak di atasnya dengan bertahtakan Lapis Lazuli dan Zamrud. Sangat eksotis dan langka.

“haah~” Qanae menghembuskan napasnya diantara lubang pada topeng besinya. Pelindung wajah yang menggambarkan bagaimana ia sebelum tragedi menyiksa ‘itu’.

Ialah satu-satunya orang yang ada disana, menggunakan pakaian kimono hitam yang dimodifikasi, memiliki pelindung pada bahu dan dadanya, meng-kilatkan sinar dari atas. Di depannya, tergeletak katana dengan saya yang lebih hitam dari malam.

Srak.

Daun-daun beringin disana bergesekan, sekelompok murid bediri di sekitarnya dengan kusarigama tergenggam di kedua belah tangannya. Sekali lagi, angin membelai ujung-ujung pakaian mereka.

“kau pikir apa yang dia lakukan disana Mara” kata Kiato sambil menoleh pada Amara di sampingnya, mereka berdua mengamati Qanae beberapa belas meter di depan mereka.

“entahlah, dia hanya duduk diam tanpa bergerak selama kurang lebih sepenggalah matahari, waktu kita tidak banyak” Amara menjawab. Dia dan Kiato adalah murid dari orang yang tengah sibuk duduk ditengah sana, tanpa bergerak. Hari ini adalah ujian terakhir untuk maju ke Tsani, tingkat beladiri bersenjata kedua, jika lulus. Masih ada seseorang lagi.

“serang?” Tanya Kiato, mengalihkan pandangannya kedepan kembali.

Amara mengangguk, mengangkat sebelah tangan, kemudian menggenggamnya dengan erat.

Srak, Trang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline