Penari pria seringkali mengalami stigmatisasi yang mengganggu, karena stereotip gender yang berkembang di masyarakat. Stereotip gender tersebut berupa anggapan bahwa penari pria tidak maskulin dan tidak cocok dengan profesi yang dianggap "laki-laki". Stereotip tersebut biasanya didasarkan pada pemikiran bahwa penari pria seringkali memakai pakaian yang feminin, melakukan gerakan yang dianggap "lembut" atau "indah", dan tampil di atas panggung dengan posisi yang seringkali dianggap tidak pantas untuk pria. Penari pria seringkali dihadapkan pada pandangan masyarakat yang mengganggu, seperti diskriminasi, ejekan, atau bahkan kekerasan verbal dan fisik. Hal ini dapat merusak rasa percaya diri dan harga diri penari pria, serta membuatnya merasa tidak diterima dalam masyarakat.
Namun, seiring perkembangan zaman, pemahaman dan apresiasi terhadap seni tari semakin berkembang. Saat ini, penari pria semakin banyak diterima dan dihargai dalam masyarakat. Banyak penari pria yang terkenal dan sukses dalam karirnya, seperti Mikhail Baryshnikov, Rudolf Nureyev, dan Carlos Acosta, yang membuktikan bahwa tari tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu.
Meskipun demikian, stigma dan stereotip gender yang berkaitan dengan penari pria masih ada di beberapa masyarakat. Stereotip gender tersebut berkaitan dengan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki harus memiliki kepribadian yang maskulin, seperti kekuatan, keberanian, dan kegagahan. Ketika seorang pria memilih menjadi penari, maka stereotip tersebut seringkali bertentangan dengan citra maskulin tersebut.
Stereotip gender yang mengganggu ini terkadang membuat penari pria tidak percaya diri dan merasa malu dengan pekerjaannya. Ada juga penari pria yang merasa terpaksa menyembunyikan pekerjaannya dari orang-orang di sekitarnya, termasuk dari keluarga dan teman-temannya, karena takut dihakimi atau dijauhi. Hal ini tentunya sangat tidak sehat dan dapat memicu masalah kesehatan mental pada penari pria.Penari pria juga seringkali mendapatkan diskriminasi dalam bidang seni tari, seperti kesulitan untuk mendapatkan peran penting atau dianggap tidak serius dalam karirnya.
Untuk mengatasi stigma dan stereotip gender pada penari pria, maka diperlukan edukasi dan pemahaman yang lebih luas tentang seni tari. Masyarakat perlu memahami bahwa tari adalah sebuah seni yang tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu, dan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya dalam bentuk seni yang diinginkannya. Pendidikan tentang seni tari juga sangat perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat dapat memahami betapa kompleksnya kesenian seni tari tersebut.
Apa Itu Stigma?
Stigma adalah sebuah suatu pandangan negatif atau diskriminatif yang diarahkan pada suatu kelompok atau suatu individu karena sesuatu yang mereka miliki atau mereka lakukan dianggap sebagai sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang.
Stigma ini dapat muncul dari faktor faktor seperti jenis kelamin, orientasi seksual, status sosial-ekonomi, suku, agama, kondisi medis atau kejiwaan, dan banyak faktor yang lainnya. Stigma dapat menjadi sesuatu penghalang bagi individu atau kelompok untuk mereka mencapai potensi penuh. Contohnya, stigmatisasi pada seseorang yang memiliki sesuatu kondisi medis tertentu yang dapat menghalangi mereka dari akses ke layanan medis yang tepat, pekerjaan yang layak, dan keterlibatan dalam kehidupan sosial yang normal di masyarakat.
Seseorang yang stigmatisasi karena orientasi seksualnya mungkin mengalami penolakan atau bahkan kekerasan, sehingga menghalangi mereka dari kehidupan yang bahagia dan sehat. Stigma juga dapat menjadi penghambat dalam upaya memerangi masalah kesehatan masyarakat, contohnya pada suatu stigma masyarakat terhadap orang yang didiagnosa dengan HIV/AIDS. Stigma ini membuat mereka penderita yang didiagnosis HIV/AIDS dapat mencegah orang tersebut untuk mencari pengobatan dan mendapatkan dukungan yang mereka perlukan, serta memperburuk penyebaran penyakit yang mereka derita.
Stigma ini dapat timbul karena dari banyak sumber, salah satunya kenapa stigma bisa timbul ialah termasuk kurangnya pengetahuan atau pemahaman mereka tentang sesuatu kelompok atau kondisi tertentu, stereotipe yang didasarkan pada pengalaman pribadi atau pandangan media, dan bahkan perilaku diskriminatif yang terjadi di antara kelompok-kelompok tertentu.
Untuk mengatasi stigma, diperlukan upaya untuk mempromosikan pemahaman dan pengakuan terhadap kelompok atau individu yang berbeda, serta mengurangi ketakutan dan ketidaktahuan yang terkait dengan kondisi tertentu. Edukasi dan kesadaran akan memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan mempromosikan pengakuan dan penghormatan atas perbedaan individu.