Lihat ke Halaman Asli

Choirul Hadyi

Mahasiswa

Teori Kekerasan Simbolik di Pesantren Menurut Pemikiran Pierre Bourdieu

Diperbarui: 28 Oktober 2022   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto kegiatan di Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon

Choirul Hadyi, NIM : 21107020073

UTS Teori Sosiologi Modern

Pierre Bourdieu anak pegawai negeri, un fonctionnaire, lahir tanggal 1 April 1930 di Denguin wilayah Barn Timur Laut Prancis. Keluarganya termasuk borjuis kecil. Tahun 1950-an ia masuk Ecole normale superieure di Prancis, satu angkatan dengan Jacques Derinda. 

Ia lulus sebagai seorang agrege de philosophie dan menolak menulis tesis, sebagai rekasi atas sifat otoritas dan tumpulnya pendidikan saat itu. Stelah lulus ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada tahun 1956, mendapat panggilan untuk bertugas di Angkatan Bersenjata Prancis selama dua tahun di Aljazair dan mengajar di Universitas Aljazair. Ini merupakan permulaan pengalamannya di filsafat ke ilmu sosial dan politik (Jenkins, 2004:7-11).

Salah satu pemikirannya ialah tentang Teori Kekerasan Simbolik. Menurut Bourdieu (1994), kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikendali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau lainnya) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya.

Muhammad Imanul Haq, beralamat di Desa Jagapura Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Seorang Mahasiswa S1 Bimbingan Konseling Islam di UIN Sunan Kalijaga, yang mempunyali latar belakang pendidikan di PonPes Dar Al-Tauhid Cirebon sebagai narasumber wawancara saya mengenai teori kekerasan simbolik. 

Dalam kutipan wawancara saya, Imanul pernah mengalami kekerasan atau hukuman di pesantren yang biasa mereka kenal dengan sebutan tajiran. Salah satu aturan yang saya ambil yaitu tentang aturan mengenai sholat berjama'ah. 

Menjalankan sholat bagi umat muslim dihukumi wajib, namun tidak harus dilaksanakan secara berjama'ah. Aturan yang ada di dalam PonPes tersebut ketika menjalankan sholat diharuskan secara berjama'ah, ketika tidak menjalankan sholat atau tidak menjalankan sholat secara berjama'ah akan dikenakan hukuman, sehingga dinyatakan tidak hadir atau bisa dikenal  dengan sebutan alfa (tidak melakukan sholat berjama'ah). 

Hukuman yang dijelaskan Imanul disini yaitu ketika mempunyai alfa di atas 5 dalam sebulan akan dikenakan sanksi berkeliling di area santri putri dengan mengalungi kertas bertulisan pelanggaran dan jika mempunyai alfa di atas 10 maka akan dikenakan sanksi botak sambil menjadi tontonan seluruh santri.

Selain itu biasanya sebelum di hukum akan di introgasi terlebih dahulu, di sini biasanya dilakukannya kekerasan seperti pemukulan menggunakan rotan atau kayu dan sedangkan pengurusnya yang melakukan pelanggaran tersebut tidak dikenakan hukuman. Kasus seperti itu yang tanpa kita sadari sebagai keharusan atau biasa disebut aturan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline