Foto : Harja Saputra
Muhammad Iqbal adalah pemikir Islam yang sangat dihormati dunia. Penghormatan kepadanya di antaranya penyebutan kata ‘allamah yang berarti orang yang sangat ‘alim. Ia dikenal sebagai seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20 ini. Pada 1922, Iqbal diberi gelar bangsawan oleh Raja George V dan memberinya titel ‘Sir’. Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, India, pada 9 November 1877.
Di antara karya intelektualnya yang terpenting adalah The Reconstrution of Religious Thought in Islam, yang berarti Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Pada bagian Pendahuluan ini, ada pernyataannya tentang al-Quran yang menurutnya merupakan penekanan al-Quran tentang ‘dirinya’ sendiri. Iqbal menulis, “This book emphasizes act than idea..” Kitab suci al-Quran ini lebih menekankan aksi daripada gagasan, demikian kira-kira. Tekanan al-Quran perspektif Iqbal ini sangat menyentuh, karena pernyataannya yang sederhana ini nyatanya menyadarkan ‘kita’ tentang sesuatu yang selama ini amat mungkin kita abai. Al-Quran sangat menekankan adanya aksi, amal, atau praktik terhadap semua yang diidekannya. Digagasnya. Al-Quran bukan sekedar teks atau narasi bisu, yang merupakan deratan huruf membentuk kata, kalimat, dan selanjutnya sekedar ungkapan. Bahkan al-Quran bukan sekedar untaian kata yang memesona orang-orang yang beriman dan bahkan kafir terhadapnya. Sejak awal kehadirannya 14 abad silam sampai dunia setua ini, al-Quran terbukti mempunyai -meminjam istilah alm. Nurcholish Madjid (Cak Nur)–daya tonjok psikologis yang membuka alam fikiran umat manusia yang bersedia membacanya dengan sungguh-sungguh. Alam fikiran yang mencakrawala dan mennghasilkan kebudayaan dan peradaban (Islam) yang sudah diakui dunia. Alam fikiran siapa saja orangnya yang mau berinteraski dengannnya. Buya Syafii Ma’arif dalam rubrik Resonansi Republika pernah menegaskan kurang lebih, “Al-Quran adalah bacaan yang cocok buat semua orang ; dari profesor berkepala botak, hingga orang-orang yang berpendidikan biasa”.
Itulah al-Quran. Dia bacaan yang mencerahkan dan terbukti menghasilkan peradaban. Sayang dunia belum menyadarinya. Kiranya, jika umat manusia mengamalkan isinya, –seperti ditekankan Iqbal di atas– suatu saat kita akan mengenal sebuah peradaban khas dunia. Apakah ini pernyataan utopis saja, tentulah bukan soal. Apalagi jika Yang Maha Kuasa menghendakinya. Sekali lagi, jangan menghentikan elan vital al-Quran pada sekedar daya tonjok psikologis gagasan-gagasannya. Tembuslah dunia dengan daya tonjok kekuatan aksi-aksinya. This book emphasizes act than idea..
Wallahu a’lam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H