Lihat ke Halaman Asli

Bahayanya Menjadi Seorang "Buta"

Diperbarui: 16 Februari 2024   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemilu baru saja dilaksanakan di tanggal 14 Februari 2024 kemarin. Tentu saja ini merupakan pesta demokrasi yang ditunggu oleh segenap rakyat di republik ini yang berlangsung setiap 5 tahun sekali. Berbagai partai mulai melebarkan sayapnya, berkontestasi dalam ajang menuju Senayan ataupun istana negara. Tentu saja ini merupakan hal yang sangat positif dan ini juga sebagai bukti bahwa demokrasi di negara kita berjalan dengan baik.

Akan tetapi, dibalik sesuatu yang baik ada masalah yang harus dihadapi. Beberapa waktu sebelum pencalonan dimulai, terdapat sebuah kejutan besar yang menggemparkan banyak kalangan. Pencalonan seorang "pangeran", anak dari seorang "raja" yang telah berkuasa selama 10 tahun lamanya yang sempat menimbulkan polemik di kancah media nasional. Banyak sekali orang yang mempertanyakan, bagaimana bisa sang "pangeran" bisa mencalonkan diri sebagai calon "wakil raja" dalam pemilu nanti yang padahal secara persyaratan dia belum memenuhi syarat akan hal itu.

Banyak sekali pertentangan yang dikemukakan oleh kalangan akademisi dan aktivis hukum. Namun semua itu sia - sia saja karena sang "pangeran" didukung oleh seorang "paman" yang menjadi seorang hakim yang "adil". Tentu saja para pakar hukum tidak tinggal diam. Mereka bersuara meneriakkan suara demokrasi yang terancam oleh sang "paman" karena pencalonan sang "pangeran" untuk menjadi "wakil raja" di istana.

Sungguh miris bila dipikirkan. Berbagai cara dihalalkan agar sang "pangeran" bisa lolos ke istana. Bahkan ada usaha pembungkaman yang dilakukan oleh kubu sang "pangeran" kepada mereka yang dianggap sebagai "penentang" mereka. Ini tentu bukanlah barang baru dalam sejarah perpolitikan di negara ini. Namun masalahnya tidak sampai disitu. Ada beberapa kalangan yang "buta" akan sejarah dan fakta sesungguhnya yang terjadi.

Mereka yang "buta" sebetulnya tidaklah mengerti dan tidak mau mengerti siapa dan apa yang mereka hadapi ini. Tak terpikirkan oleh mereka bagaimana rasanya seorang "raja" akan menjadi seorang "raja" dengan cara yang kotor. Menghalalkan segala cara, menggiring opini dan mematikan prinsip kebebasan bicara publik kepada dirinya. Bagaimana bisa seorang pendidik yang memberikan ilmu kepada orang - orang yang masih dalam keadaan "buta" agar bisa melihat dengan terang benderang ingin dimasukkan ke penjara oleh sang "raja"?  Bukankah seharusnya sang pengajar harus dijaga dan dihormati, bukannya dibungkam lalu dipenjarakan. Itulah bahayanya menjadi seorang yang "buta". Seseorang yang "buta" adalah orang yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti kepada apa yang mereka pilih dan hadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline