Lihat ke Halaman Asli

Hadi Tanuji

Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Inspirasi Kajian Jumat Pagi: Mengurai Falsafah Islam dan Kebahagiaan

Diperbarui: 17 Januari 2025   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seperti biasa tiap Jumat pagi, suasana di kampus Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan (ITBMG) terasa berbeda. Tidak seperti hari-hari lain, Jumat pagi para dosen sudah mulai berdatangan. Udara masih sejuk, suasana pagi masih terasa segar, dan ruang rapat mulai penuh dengan dosen serta tenaga kependidikan yang antusias mengikuti kegiatan Kajian Jumat Pagi. Seolah pagi ini, semangat mencari ilmu memenuhi setiap sudut ruangan.

Dr. Noor Hamid, dosen AIK dan Kemuhammadiyahan yang sudah dikenal dengan obrolannya yang renyah dan menggugah, hadir sebagai pembicara. Tema yang dibahasnya kali ini menyentuh banyak hal tapi hanya empat topik yang saya ingat: syukur, falsafah Islam, kebahagiaan, dan salah satu bagian dari kitab Kitabul Masyail Khomsah yaitu diinul Islam. Dari awal, beliau menyapa hadirin dengan senyum dan candaan ringan yang segera mencairkan suasana.

Dalam salah satu kesempatan, Dr. Noor Hamid menjelaskan tentang kebahagiaan dan falsafah Islam. Beliau menguraikan bahwa kebahagiaan terletak pada ridho kita terhadap ketentuan Allah. Kalau kita ridho maka kita akan bahagia. Kalau kita ridho maka Allah akan ridho, dan pada akhirnya akan membuat kita bahagia. Beliau mencontohkan, orang kere (miskin) kalau ridho dengan kekereannya maka dia akan bahagia, begitu kata beliau. Sementara itu berkaitan dengan falsafah Islam, dijelaskan bahwa falsafah islam berbeda dengan falsafah barat. Falsafah barat mengajarkan kebebasan sedang falsafah islam mengharuskan kita tunduk dengan Al Quran dan As Sunah. Sebenarnya bahasan beliau ini menarik, namun sayang karena waktu yang terbatas, semua uraian disampaikan secara kurang mendalam.

Apa yang disampaikan Dr. Noor Hamid ini mengingatkan saya pada buku yang pernah saya baca tentang falsafah Islam dan kebahagiaan. Dalam kitab mafahim Islam karangan An Nabhani, disebutkan bahwa falsafah islam adalah masjul madah bir-ruh (penggabungan antara materi dengan ruh).

Istilah masjul madah bir-ruh (penggabungan materi dengan ruh) merupakan salah satu konsep mendasar yang menggambarkan falsafah Islam secara ringkas namun mendalam. Konsep ini menunjukkan bagaimana Islam memandang kehidupan dan membentuk pola pikir umatnya.

Pada konsep masjul madah bir-ruh dalam falsafah islam, madah (materi) meliputi semua aspek kehidupan duniawi: manusia, pekerjaan, harta, makanan, pakaian, hubungan sosial dan sebagainya. Sedangkan ruh adalah kaunul asy-syia' makhluqotan li khaliqin yaitu kesadaran manusia tentang hubungannya dengan Allah SWT, bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan (makhluq) dan Allah SWT adalah Pencipta (Al Khaliq). Dengan kata lain, ruh adalah kesadaran bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah, yang harus senantiasa tunduk kepada Penciptanya. Jadi masjul madah bir-ruh berarti memadukan atau menyelaraskan seluruh aspek duniawi dengan aturan Allah SWT dalam segala aktivitas manusia.

Bagaimana penerapan konsep masjul madah bir-ruh ini? Penerapannya tentu mencakup seluruh aktivitas manusia. Contoh bekerja: pekerjaan mencari nafkah tidak hanya dianggap sebagai aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai ibadah, asalkan dilakukan dengan cara yang halal sesuai aturan Allah.

Dalam berkeluarga: memelihara keluarga bukan sekedar memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi merupakah ibadah jika didasari niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam pemanfaatan harta: kekayaan tidak dipandang buruk, tetapi penggunaannya harus sesuai dengan aturan Islam seperti berinfak, zakat dan menghindari riba.

Dalam pemerintahan dan politik: aktivitas politik dalam islam juga bagian dari ibadah asalkan dilakukan sesuai aturan Allah, seperti menegakkan syariah dan keadilan dalam Masyarakat.

Dengan demikian, Islam memandang materi bukan sebagai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana yang harus digunakan sesuai dengan aturan Allah. Islam tidak memisahkan aspek material (duniawi) dari aspek spiritual (akhirat). Segala sesuatu yang bersifat duniawi memiliki nilai spiritual jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah SWT. Konsep ini menolak dualisme pemisahan antara agama dan dunia, antara spiritualitas dan materialisme, sebagaimana yang sering ditemukan dalam filsafat Barat dalam konsep sekulerisme yang memisahkan agama dari dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline