Hampir lima tahun saya bekerja sebagai petugas lapangan dengan sebutan Penyuluh Keluarga Berencana. Meskipun baru-baru ini Kepala Badan di mana saya berkantor dan bekerja menyebut saya tidak loyal karena keinginan saya pindah ke BKKBN Propinsi, namun itu tidak menjadikan saya menjadi tidak loyal dan ingin menghancurkan program KB sebagaimana tuduhannya. Saya justru selalu ingin menceritakan hal-hal yang menurut saya membangun program.
Seperti cerita ini, tentang mitra kerja saya di tingkat kelurahan.
Sebagaimana tercantum dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi) seorang penyuluh, maka saya menjalin kerja sama dengan elemen di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, hingga tingkat RW dan juga RT. Untuk tingkat kelurahan/desa, mereka disebut institusi Pos KB.
Selama hampir lima tahun bekerja, saya selalu menjalin kerjasama dengan para Pos KB ini. Karena sesungguhnya, mereka lah yang membantu pekerjaan saya di tingkat lapangan. Dan selama 5 tahun itu pula saya bertemu dengan beragam orang dari beragam usia. Rata-rata semuanya seusia dengan bapak atau paman saya.
Di tempat tugas saya saat ini, di kecamatan yang merupakan ibukota Kabupaten, mitra kerja di tingkat desa/kelurahan hampir semua ibu-ibu. Dan yang menarik lagi, pos KB yang kini bekerja sama dengan saya adalah seorang WNI dari suku tionghoa. Herlina namanya. Saya memanggilnya dengan sebutan Cici Lina atau Ci Lina.
Meskipun tergolong baru dalam dunia per-KB-an, saya dan Ci Lina mampu menjalin kerja sama yang harmonis. Tidak ada sekat diantara saya dan dia. Kami merasa apa yang kami kerjakan adalah untuk membantu kalangan keluarga pra sejahtera yang tak seberuntung kaum kaya. Jadilah kami solid sebagai satu tim.
Pun dengan keseharian yang berbeda antara saya dan dia. Tidak ada hambatan sama sekali. Dia penganut Katolik yang taat, dan saya Muslim yang memegang teguh keyakinan saya. Itu tidak menjadi hambatan. Di saat semua orang menjadikan perbedaan agama sebagai penghambat, justru saya menjadikan itu sebagai perekat hubungan kerja dengan cara memberikan toleransi sesuai dengan porsinya.
Saya justru mengacungi jempol untuk etos kerja yang ditunjukan Ci Lina. Seperti kebanyakan etnis tionghoa, etos kerja Ci Lina ini tergolong luar biasa. Ketika pekan lalu kami akan mengadakan pelayanan KB berupa pemasangan KB IUD gratis, Ci Lina dengan semangat luar biasa berkeliling ke beberapa RW untuk mencari ibu-ibu muda yang berasal dari kalangan keluarga yang kurang mampu untuk diajak ber-KB. Dan dalam waktu satu hari, dia berhasil mengumpulkan 10 orang yang mau dipasangi IUD. Saya yang menyertainya berkeliling, memberikan penyuluhan dan informasi seputar apa itu IUD.
Bahkan menurut penuturan Ci Lina ketika saya temui kemarin di rumahnya, ia menuturkan bahwa malam hari sebelum dilaksanakan pelayanan KB tersebut, dia masih menyempatkan berkeliling ke lokasi yang agak jauh dari rumahnya. Padahal jam sudah menunjukkan angka 10 malam. saya sangat mengapresiasi dan bangga terhadapnya.
Disaat orang lain masih mempermasalahkan kesukuan, WNI dan WNI keturunan, saya dan Ci Lina berhasil meleburkan sekat itu. Tidak ada perbedaan lagi. Saya merasa dia adalah bagian dari warga Indonesia yang juga turut concern dengan program KB. Dia turut andil dalam menekan laju kelahiran dengan cara mensosialisasikan KB kepada orang-orang yang berada di lingkungan tempatnya tinggal.
Satu lagi yang patut saya jadikan teladan adalah Ci Lina ini selalu bekerja tanpa pamrih. Dia tidak pernah mengharapkan ada uang atau apapun dari kegiatan KB ini. Karena memang saat ini program KB hanyalah program yang sudah dipandang sebelah mata saja, maka kesejahteraan para petugas dan mitra kerja sudah kurang terperhatikan. Namun justru Ci Lina menjadi inspirasi saya untuk bekerja ikhlas.
“Saya hanya berusaha menolong tetangga yang kurang mampu untuk ikut KB agar anak-anaknya yang sudah lahir dapat terbiayai.” Begitu katanya suatu saat ketika saya mengobrol dengannya.
“Bukan masalah ada tidaknya uang. Yang penting bagi saya saat ini, pasangan-pasangan muda itu tidak punya anak terlalu banyak. Saya hanya berusaha menolong mereka dengan mengajaknya ber-KB.”
Luar biasa. Saya sempat terharu mendengar ucapannya, dan juga menjadi malu hati .Kadang-kadang saya menggerutu ketika harus ngider-ngider ke lapangan, ke pelosok-pelosok desa, untuk mensosialisasikan kegiatan KB gratis dan memberikan penyuluhan kepada mereka yang menjadi sasaran.
Dari Ci Lina ini saya belajar, bahwa bekerja itu adalah ibadah, ikhlas, tanpa pamrih, dan membantu sesama.
Ya, kita bisa belajar dari siapapun tentang nilai-nilai kehidupan ini. Perbedaan bukan alasan untuk mendapatkan nilai hidup. Meskipun jika bicara kesukuan kami berbeda, saya seorang sunda dan Ci Lina seorang keturunan tionghoa, namun itu tidak menjadi penghalang untuk saya belajar tentang nilai kehidupan.
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Ibu Erlina atau Ci Lina, bertopi menghadap kamera - Foto: HS.2010"][/caption]
Besok adalah perayaan tahun baru sistem penanggalan China. Saya ucapkan Gong Xi Fat Choi kepada Ci Lina yang akan merayakan bersama keluarga besarnya.
Selamat tahun baru Imlek untuk anda yang merayakannya. Semoga di tahun kelinci nanti, kehidupan yang lebih baik akan menyertai kita semua. (HS)
Kakimanangel, 02022011.
nb: Tulisan ini adalah sebentuk apresiasi saya untuk etos kerja Cici Lina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H