[caption id="" align="alignleft" width="269" caption="Selamat datang di Bandung - HS.2010"][/caption] Tepat ketika kaum kristiani merayakan hari natal, saya mengisi liburan dengan mengunjungi kota dimana saya pernah menghabiskan empat tahun masa kuliah saya, yaitu Bandung. Di mata saya, Bandung selalu menarik untuk dikunjungi kembali. Saya tak pernah bosan bermain dan menghabiskan waktu liburan di Bandung. Mungkin karena saya pernah menjadi warga Bandung, makanya buat saya Bandung serasa jadi rumah ke dua.
Sebenarnya, kemarin itu saya hanya ingin mengisi waktu luang saja di hari libur. Tak ada perencanaan apapun untuk saya pergi ke Bandung. Namun setelah bertemu dengan seorang teman saya di Bandung, dia mengajak saya menyambangi kawasan Gedung Merdeka dan Jalan Braga. Maklum, kawan saya ini penghobi fotografi dan Gedung merdeka dan sekitarnya adalah ‘menu’ wajib para penghobi fotografi untuk diabadikan dalam gambar diam jepretan mereka.
Sungguh sebuah keberuntungan bagi saya ikut dengan rombongan kawan saya ini, karena saya bisa mengunjungi Braga Festival 2010. Di Jalan Braga, yang terletak persis di depan Gedung Merdeka itu, sedang dilaksanakan Festival Bandoeng Tempo Doeloe.
Oya, anda pasti sudah mendengar tentang gedung merdeka bukan? Gedung yang dulunya bernama Societeit Concordia ini adalah gedung bersejarah tempat dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika. Nah, di kawasan jalan Braga ini, selain Gedung Merdeka, banyak gedung-gedung lain yang masih bernuansa art deco masa lampau yang dipertahankan sesuai bentuk aslinya.
Sedikit tentang Jalan Braga, saya akan bercerita. Di kawasan jalan Braga ini, saya seolah diajak berwisata ke masa lalu. Berwisata mengenang bandung tempo doeloe. Jalan ini merupakan salah satu jalan utama di Bandung yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Jalan ini menjadi objek wisata para turis Belanda. Tata letaknya lebih mirip dengan arsitektur perkotaan eropa masa lampau. Tak heran jika dulu dijuluki Paris Van Java karena jalan dan nite life-nya mirip di kota Paris-Perancis.
Tentang Jalan Braga ini, anda bisa membacanya di situs Wikipedia.
Di Braga Festival sendiri, selain hingar bingar musik khas anak muda yang tidak seperti masa lalu, saya berkesempatan mengenal dan melihat hal-hal berbau jadul. Mulai dari permen, hingga menu makanan, bahkan pertunjukan wayang, ada di Braga Festival 2010 ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="suasana Braga Festival 2010 - HS.2010"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Gulali - HS.2010"]
[/caption]
Sebut saja permen Gulali. Permen ini adalah permen tradisional yang sudah ada sejak jaman dahulu. Terbuat dari gula aren dicampur dengan taburan kacang sebagai toppingnya. Kemudian ada juga beberapa stand makanan yang menyajikan menu makanan yang sudah terkenal sejak jaman dulu. Sayang karena crowded-nya Jalan Braga, saya tidak berkesempatan mencicipi aneka makanan itu, kecuali permen gulali. Saya membeli gulali enam biji. Rasanya sungguh manis, dan tidak berubah, sama seperti gulali yang saya kenal ketika saya kecil. Rasanya Giung kalau kata orang sunda.
Pertunjukan wayang menjadi kontras dengan hingar bingar musik yang dihelat di panggung utama. Meskipun hanya menggunakan panggung kecil di salah satu stand, pertunjukan wayang golek ini menjadi pusat perhatian yang cukup menarik. Hiburan tradisional yang sudah mulai terkikis jaman ini menjadi satu hal yang menarik karena memberikan citarasa tempo doeloe, dibandingkan dengan hingar bingar musik rock anak muda tersebut. Apalagi wayang mempertontonkan cerita yang menghibur tentang si Cepot. Kepiawaian dalang dalam mengolah cerita tak jarang membuat penonton tertawa terbahak-bahak karena kelucuan dan keluguan si Cepot.
Sebagai pelengkap cita rasa masa lalu, teman saya mengajak untuk menyantap eskrim yang katanya sudah ada sejak jaman baheula. Namun sayang sekali, restoran eskrim ini sudah tutup. Entah karena sudah terlampau sore, atau karena kemarin adalah hari perayaan natal. Saya dan teman-teman sedikit kecewa.
Tak terasa saya dan teman-teman menghabiskan waktu di Jalan Braga ini hingga magrib menjelang.
Sebagai penutup wisata tempo doeloe tersebut, kami sengaja menghabiskan waktu makan malam dengan mengisi perut di salah satu rumah makan bernuansa masa lalu. Terletak tak jauh dari Jalan Braga, yaitu di Jalan Sumatera, kami mengisi perut di Indische Tafel. Untuk menuju jalan sumatera ini anda perlu memutar karena letaknya bersebelahan dengan Jalan Braga. Peta kota Bandung bisa menjadi panduan untuk anda yang belum mengenal seluk beluk Bandung.
[caption id="" align="alignleft" width="162" caption="salah satu interior indische tafel - HS.2010"]
[/caption] Begitu memasuki rumah makan ini, saya kembali serasa memasuki mesin waktu yang membawa saya ke jaman pemerintahan Belanda. Arsitektur dan desain interior rumah makan ini sungguh klasik. Mengingatkan saya tentang cerita-cerita jaman noni dan meneer Belanda. Para waiter dan waitress berdandan a la pemuda-pemudi pribumi masa lalu. Balutan kebaya menjadi ciri khas para waitress-nya. Seolah-olah mereka memang melayani noni dan meneer Belanda. Saya menikmati nuansa ini seolah-olah saya adalah seorang meneer, hahaha.
Saya menjadi tertarik untuk menceritakan Indische Tafel ini. Ketertarikan ini mendorong saya mencari apa dan bagaimana indische tafel ini. Menurut referensi yang saya baca, Indishce Tafel ini mempunyai misi memperkenalkan sejarah dan kuliner masa pemerintahan Belanda. Tak heran jika di restoran ini disajikan menu-menu indo-belanda Jadul.
Menu andalannya adalah bistik sinyo indische. Kawan saya memesan itu. Namun saya lebih penasaran dengan nasi pepes telor asin. Saya memesan nasi pepes telor asin dan minuman bernama ijo ijo seger. Sayang sekali, saya harus menelan kecewa karena nasi pepes telor asin baru saja sold out ketika saya memesan. Saya pun menggantinya dengan nasi handjoeang.
[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Menu Indische Tafel: Ijo ijo seger, Sup Kacang Merah, dan Nasi Handjoeang. - HS.2010"] [/caption]
Menu-menu di resto ini tergolong lengkap. Mulai dari menu pembuka berupa salad-saladan, menu utama, hingga menu penutup, bisa dipesan sesuka hati. Untuk menu dengan cita rasa yang tak mengecewakan, meskipun harga yang agak sedikit mahal (untuk ukuran kantong saya yang belum gajian), saya yakin anda akan menambahkan Indishce Tafel ke dalam daftar resto yang Highly recommended. Saya sendiri masih penasaran dengan nasi pepes telor asin itu, dan jika berkesempatan, ingin mendatangi lagi Indische Tafel ini.
-hs-
Anda tertarik untuk berwisata tempo doeloe di Bandung? Hmm, saya rasa tak perlu mahal-mahal menyiapkan anggaran. Tenang saja, di Bandung mah masih murah-murah. Saya saja kemarin tak sampai menghabiskan dua ratus ribu. Tapi iItu karena saya tidak menginap di hotel hehe. Saya hanya jalan pulang hari saja dari kampung saya ke Bandung.
Jika anda kebetulan datang dari luar Bandung dan ingin menginap di Bandung,tak usah khawatir, banyak hotel yang murah-murah di Bandung. Mulai dari hotel melati hingga bintang lima, ada. Untuk hotel yang murah namun asyik, puri tomat atau wisma dago yang terletak di jalan Dago Bandung, bisa menjadi pilihan. Atau ‘de Qur di jalan dipati ukur juga bisa menjadi satu alternatif tempat anda menginap di Bandung. Jangan lupa, untukpeak season macam akhir tahun begini, anda harus memesan hotel jauh-jauh hari sebelum anda berangkat ke Bandung. Karena jika tidak demikian, saya yakin anda akan kesulitan menemukan hotel. Menurut informasi yang saya baca, tingkat hunian di Bandung akan melonjak di musim liburan akhir tahun begini.
Atau jika ingin lebih murah, gampang! Anda tinggal memanfaatkan jejaring yang anda miliki di kota Bandung. Kemarin saya hampir saja menginap di rumah mas Nuraziz Widayanto. Salah satu teman saya di Kompasiana. Namun urung karena saya tidak membawa persiapan menginap karena memang saya tidak merencanakannya. Maaf ya mas Nur, next time kalau ke Bandung lagi, deh, saya sowan ke rumahmu hehe.
Kembali ke budget yang harus anda rencanakan. Saya kira dengan berwisata tempo doeloe ini tak akan memakan banyak anggaran yang bisa menipiskan kantong anda. Jalan Braga dan sekitarnya bisamenjadi alternatif anda berwisata mengenang sejarah jaman Hindia Belanda.
Jangan lupa, cantumkan juga indischetafel ke dalam list tempat yang harus anda kunjungi sebagai pelengkap wisata tempo doeloe anda.
Yakinlah, setelah anda mengenal jalan Braga dan wisata tempo doeloe-nya, anda akan semakin jatuh cinta dengan Bandung. Seperti saya yang mengalami jatuh cinta dengan Bandung, entah untuk yang ke berapa kali.Buat saya: Bandung itu, Never ending story.
Penasaran? Silakan rencanakan liburan anda di Kota Bandung dari sekarang. (HS)
[caption id="" align="aligncenter" width="358" caption="Bandung tempo doeloe - Photo taken by Cecep Firmansyah (dok. AR.Ganiem - 2010)"]
[/caption]
Kakimanangel, 261222010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H