Masih Tentang UN
[caption id="attachment_132367" align="alignleft" width="176" caption="Lulus atau gagal? UN tak bisa batal... - ilustrasi: dok.pribadi"][/caption]
Tadi sore (3 mei 2010) saya melihat sebuah tayangan di salah satu stasiun TV swasta. Tayangan hiburan tersebut membahas tentang tujuh ekspresi atas pengumuman UN. Tidak begitu jelas sih apa saja ke-tujuh ekspresi tersebut karena saya menonton sambil makan. Namun ada hal menarik dari tayangan tersebut yang ingin saya jadikan bahan catatan saya.
Entah di point ke berapa, ditayangkan sejumlah siswa yang sudah mencorat-coret pakaiannya namun ternyata tidak lulus. Mereka akhirnya meluapkan amarah kekesalan dan kekecewaannya dengan cara menyerang bangunan sekolah mereka dengan membabi buta dengan lemparan batu. Tampak kaca-kaca kelas di sekolah tersebut hancur. Dan pastinya itu akan mendatangkan kerugian yang harus ditanggung pihak sekolah.
Pada cuplikan lain, tampak siswa-siswi yang menangis histeris hingga tak sadarkan diri. Mereka menangisi ketidak lulusan mereka. Ini terjadi di salah satu sekolah di Gianyar Bali. Pihak guru pun tidak bisa berbuat apa-apa dengan ketidak lulusan murid-muridnya. Hanya pelukan penguat saja yang diberikan sang guru terhadap muridnya yang menangis.
Di salah satu kota di Jawa Timur, cara meluapkan kegembiraan kelulusan UN adalah dengan cara sujud syukur. Pihak sekolah menyediakan sajadah. Tampak wajah siswa tegang menanti pengumuman. Satu persatu mereka dipanggil, dan tampak seorang siswa bersujud dalam sajadah tersebut. Tidak ditayangkan bagaimana ekspresi siswa yang tidak lulus. Apakah masih bersujud di sajadah yang sama atau tidak.
Itu adalah ekspresi yang diluapkan siswa yang lulus dan tidak lulus UN. Sungguh sangat disayangkan, banyak efek negatif ternyata dari ketidak lulusan siswa dalam Ujian Nasional yang disebutkan beberapa pihak sebagai standarisasi pendidikan nasional ini. Efek negatif yang muncul beragam. Mulai dari pengrusakan sekolah, hingga percobaan bunuh diri. Wajarkah ini terjadi? Bukankah mereka adalah generasi penerus setelah kita yang nantinya akan menjadi pemeran utama yang mengisi dan menjadi bagian dari negeri bernama Indonesia?
~hs~
Hmmm, agaknya pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan harus mulai meninjau kembali sistem pelaksanaan UN ini.Apakah benar ini menjadi sebuah standar untuk sistem pendidikan nasional? Apakah ini memang mewakili sistem evaluasi terhadap keberhasilan siswa dalam menerima materi pelajaran selama tiga tahun bersekolah? Ataukah ini egoisme pemerintah demi mengejar kalimat “Kualitas pendidikan Indonesia Meningkat”? padahal, menurut tayangan tersebut, tahun ini ada sekitar 150 ribu siswa di seluruh Indonesia yang tidak lulus UN.
Saya pernah mencatat mengenai sistem penilaian berupa asesmen kinerja. Mungkin itu bisa dijadikan sebuah masukan untuk sistem penilaian. Karena menurut saya, evaluasi serupa UN ini hanya memberikan efek tertekan pada siswa ketika melaksanakan ujian. Ketika siswa tertekan, maka hasil yang diperoleh pun tidak optimal. Mungkin para psikolog bisa mengupasnya dari sisi tersebut.
Kembali ke UN. Saya berpendapat bahwa untuk menguji kelulusan siswa, UN tidak bisa dijadikan standar begitu saja. Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam menempuh UN. Salah satunya adalah kualitas sarana dan prasarana sekolah. Apakah standar sarana dan prasana setiap sekolah yang ada di Indonesia ini sudah sama? Sudah merata? Jika jawabannya belum, maka UN adalah sebuah kekeliruan pemerintah. Sebuah langkah terburu-buru dari pemerintah untuk membuat standarisasi hanya karena ingin disebut “pendidikan di Indonesia berkualitas”.
Saya memang hanya bisa berkoar disini. Tidak bisa memberikan langkah kongkret solusi seperti apa (bagi pemerintah khususnya kementrian pendidikan nasional, yang saya yakin diisi oleh orang-orang yang mumpuni di bidang pendidikan) untuk mengganti UN tanpa harus kehilangan “standar nilai” sistem pendidikan nasional. Saya hanya bisa memberi masukan seperti yang saya catatkan dalam artikel sebelumnya.
~hs~
Catatan ini Sekedar simpatik saya untuk adik-adik yang belum lulus. Dunia belum berakhir hanya gara-gara kalian belum lulus UN. Tatap masa depan yang penuh tantangan. Jangan menyerah karena dua kata yang tertulis di surat pengumuman kalian. TIDAK LULUS. Itu bukan berarti kalian “selesai”. Ini bukan salah kalian. Ini adalah PR pemerintah untuk meninjau kembali sistem ujian nasional.
Semoga ke depannya, tidak ada lagi siswa siswi, adik-adik kita yang harus terpukul mentalnya hanya gara-gara pemaksaan untuk standarisasi sistem ujian akhir kelulusan mereka. (HS)
Kakimanangel, disela-sela istirahat setelah nyensus. 03052010
nb: thanks to mas Wyndra yg udah diskusi bikin judul catatan ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H