Realitas kebangkitan sufisme di dunia muslim, termasuk Indonesia sedikit kontradiktif jika dilihat dari perspektif era modern. Ditengah manusia berada di situasi modern yang sekuler, dimana manusia merasa telah berhasil menyingkap rahasia dan menaklukkan alam semesta lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi justru banyak orang yang tertarik pada sufisme dimana hal ini dianggap berkonotasi sebaliknya dengan kemodernan.
Dengan adanya modernisasi, manusia seakan menggantungkan harapanya terhadap teknologi yang dianggapnya sebagai "tuhan" yang bisa mengubah peradaban dan nasib manusia sebagai agama baru. Akan tetapi, dikemudian hari teknologi tidak sepenuhnya memberikan apa yang diharapakan. Teknologi tentu bisa memberikan manusia kenyamanan, namun tidak bisa dipungkiri juga menimbulkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan sebut saja minsalnya kerusakan pada lingkungan hidup akibat dari keinginan manusia itu sendiri mencapai kemajuan dalam modernisasi.
Manusia dengan hawa nafsunya yang rakus memandang dirinya hanya sebagai khalifah (penguasa) di bumi ini, tanpa mengaitkan kedudukan sebagai pembawa amanat dari Allah Swt. Kekhalifahanya hanya dimanfaatkan untuk menaklukkan bumi tanpa melihat bumi itu adalah amanat yang harus dijaga.
Lambat laun ilmu pengetahuan dan teknologi tidak memberikan mereka kenyamanan dimana terjadinya krisis yang mendalam diberbagai aspek kehidupan, mereka yang terlena dengan kemajuan tersebut merasakan kehidupan mereka semakin keras dan sulit serta penuh dengan kriminalitas yang seolah-olah terlepas dari kontrol. Pada saat yang bersamaan juga manusia terikat oleh globalisasi informasi dan gaya hidup yang berkembang yang justru mengakibatkan semakin berkurangnya kesadaran dan terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai.
Oleh karena itu, kita tidak heran kebanyakan masyarakat yang sadar akan hal tersebut kembali kepada agama yang memberikan makna kepada kehidupan. Kebangkitan agama dalam hal ini adalah tasawuf mulai bermunculan seperti tarekat-tarekat sufi meskipun mereka serba rasional tapi banyak mengahbisakn waktu mereka dalam ber-dzikir guna menjawab tantangan-tantangan kemanusian dan kerohanian di era modern ini. Kebangitan dari tasawuf itu sendiri terlihat dari munculnya penyair atau seniman yang secara terang-terangan memaskukkan unsur sufi dalam karyannya.
Selain itu juga, pertumbuhan jumlah masjid-masjid, lembaga-lembaga Islam, dan peningkatan jama'ah haji setiap tahunnya. Disamping usaha-usaha serius menggali diskursus tasawuf tersebut, bisa dilihat juga dari aspek keberagaman di Indonesia yang semakin meningkat, masalah khilafiyah-furu'iyyah tidak lagi menjadi perdebatan sebagai contoh, saat ini banyak tradisi-tradisi keagamaan yang dilakuakan Muhammadiyah dan yang lainnya yang biasa dilakukan oleh orang NU, seperti tahlil, talqin, istighasah, dan dzikir-dzikir lainnya.
Jika dilihat dari sejarah, tasawuf tanpa usaha Imam Al-Ghazali dan para fuqaha serta para ahli hadits, mungkin Islam akan menjadi sebuah ajaran soal "boleh dan tidak" tanpa memberikan kesempatan kepada kehidupan keberagaman yang lebih luas dan mendalam, namun Islam hadir seperti saat sekarang ini dengan segala kompleksitas dan kemampuannya untuk menjawab tantangan zaman yang justru memlihara dinamika Islam sehingga tetap hidup. Sebagai contoh kasus, Turki adalah negara yang mempraktikkan sekularisasi yang begitu keras, namun gagal dikarenakan masih kuatnya pengaruh tasawuf sehingga Islam tetap terpelihara dan bisa hidup tanpa terkikis oleh sekulerisasi.
Ketika ekspansi dan penetrasi Barat ke Dunia Muslim semakin mendalam sejak abad ke-18, banyak tarekat sufi menjadi pioner perlawanan kaum muslim seperti Jihad Qadriyah dan Sanusiyah di Afrika Utara, gerakan Syaikh Ahamd Bareilly di India, dan tarekat Qadriyah pada pembrontakan Banten.
Warna sufi yang menonjolkan dzauq (rasa) di Indonesia hingga saat ini, masyarakat tidak bisa jauh dari sikap-sikap sufistik, penghormatanya kepada orang-orang mulia seperti sufi dan ulama-ulama yang mempunyai karamah keistimewaan masih lestari, baik dari mereka yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Namun di satu sisi, doktrin immanensi Tuhan dalam diri manusia sering melahirkan sikap takabur mengaku sebagai "tuhan" yang berarti memperkecil dan merelatifkan nilai syari'at.
Bahkan ada yang menyepelekan syari'at karena mereka sudah merasa menyatu dengan Tuhan dan tak perlu menyembah lagi. Jangan sampai kita salah pengertian, bahwa setelah mengamalkan tarekat lalu syari'at itu dibuang. Kalau syari'at tidak ada maka akan kembali seperti zaman jahiliyah yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan.
Segala-segalanya kita lakukan dengan syari'at mulai wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, pernikahan, dan lain-lain. Karena kalau semua itu dilakukan tanpa syari'at, tentu tidak sah. Maka bagi pengamal tarekat harus rajin mengikuti pengajian tauhid supaya akidah kuat, pengajian syari'at supaya ibadah sah, begitu juga pengajian tasawuf supaya akhlak kita baik.