Pada tanggal 19 november 2016 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meresmikan program Three Ends di Hotel Savoy Homman,Bandung. Program Three Ends ini terdiri dari End Violence Againts Women and Children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), End Human Trafficking (akhiri perdagangan manusia) dan End Barries to Economic Justice (akhiri kesenjanganekonomi terhadap perempuan). Tiga hal tersebut merupakan program nyata untuk meningkatkan kemandirian perempuan Indonesia. Program ini ditunjukkan bagi semua kalangan, baik keluarga, masyarakat, pemerintah bahkan seorang bloggerpun menjadi prajurit untuk menurunkan atau bahkan menyuarakan program ini.
Ketika saya menanyakan ke ibu saya apakah Beliau tahu Program Three Ends? Beliau menjawab dengan cepat tidak tahu. Lalu saat saya tanya program pemerintah yang lain seperti KUR (Kredit Usaha Rakyat), ibu saya menjawab tahu termasuk bagaimana cara mengaksesnya. Mungkin karena program KUR terpampang nyata dalam beberapa spanduk di tempat umum seperti pasar dan bank. Ibu saya mengatakan jika ada program pemerintah mengenai kesejahteraan keluarga pasti diinformasikan melalui PKK. Saya menanyakan pula tentang program ini ke pacar saya yang lebih intens menggunakan internet. Ia pun mengatakan tidak tahu.
Mungkin program ini belum setenar KUR dari Kemenkop atau masih kalah tenar dengan Program Pemberantasan Kapal Asing Ilegal milik Menteri Susi. Menurut saya bisa dikatakan program ini masih perlu sosialisasi yang fokus mengena ke komunitas-komunitas perempuan, karena hal ini sangatlah penting mengingat kasus-kasus terkait tidak terpenuhinya hak-hak anak dan perempuan yang terjadi di Indonesia, kemungkinan besar masih banyak yang belum terdeteksi atau tidak dilaporkan.
Program pertama yang diusung KPPPA yaitu End Violence Againts Women and Children atau akhiri kekerasan perempuan dan anak. Dalam program ini, perlu menjadi bahasan lebih lanjut sebatas mana yang disebut dengan kekerasan. Bagaimana dengan seorang ibu yang mencubit anaknya karena anaknya dianggap nakal? Apakah bisa disebut kekerasan? Saat saya masih kecil, ibu pernah memukul saya dengan sapu lidi sampai berbekas di paha saya. Saya tidak merasa itu kekerasan, karena saya menganggap itu pembelajaran bagi saya yang memang nakal. Namun bisa jadi orang lain yang melihat saya dipukul menganggap itu adalah kekerasan fisik pada anak.
Hal itu membuktikan adanya perbedaan persepsi mengenai definisi kekerasan fisik. Belum lagi kekerasan verbal dan kekerasan lainnya yang mungkin jika dilakukan kepada seorang anak kecil, akan menimbulkan trauma dan teringat hingga seumur hidupnya. Hal seperti ini jika dibiarkan menyebabkan jika terjadi suatu perilaku kekerasan akan menjadi hal yang masih biasa di masyarakat, asalkan di sekitar tidak menganggap perilaku tersebut adalah kekerasan maka itu bukan kekerasan.
Hal itu sama dengan melakukan pembiaran atau bahkan ikut melakukan kekerasan secara terselubung. Apalagi jika kekerasan itu terjadi di rumah tangga orang lain dan sang korban tidak memberikan persetujuan untuk melapor. Sesuai dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 26 ayat (2), keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban.
Program selanjutnya yaitu End Human Trafficking atau akhiri perdagangan manusia. Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan perekonomian. Dilansir dari kompas.com, Indonesia merupakan negara dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) nomor tiga terbanyak di dunia. Adapun modus yang lazim digunakan adalah menjebak keluarga korban dengan utang, penculikan, berkedok mengirim duta seni ke luar negeri, pemberian beasiswa, hingga pencarian bakat untuk tampil sebagai model atau pengisi acara hiburan. Hal-hal tersebut jika telisik lebih jauh, menurut asumi saya dasar utamanya adalah ekonomi sehingga para pelaku, korban, keluarga atau kerabat yang terlibat tidak memiliki pilihan lain lagi selain melakukan transaksi jual beli.
Masih dari kompas.com, data Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 2011-2013 menunjukkan adanya 509 kasus TPPO. Sebanyak 213 kasus eksploitasi ketenagakerjaan, 205 eksploitasi seksual, 31 kasus bekerja tidak sesuai dengan perjanjian dan 5 kasus bayi yang diperjualbelikan. Data menyebutkan pula korban terbanyak adalah perempuan dewasa berjumlah 418 orang, disusul dengan 218 orang anak perempuan. Adapun korban laki-laki berjumlah 115 orang dewasa dan tiga anak laki-laki.
Adanya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), yang juga mengatur sanksi pelaku perdagangan orang dengan hukuman denda hingga penjara seumur hidup, nampaknya belum cukup kuat untuk menanggulangi perdagangan orang di Indonesia. Diperlukan berbagai upaya preventif seperti edukasi bagi masyarakat yang mungkin adalah calon korban dan penanganan yangkomprehensif bagi korban.
Program terakhir dari Three Ends KPPPA yaitu End Barries to Economis Justice atau akhiri kesenjangan ekonomi. Menurut pandangan saya, program ini cocok dijadikan program utama dari Three Ends. Kesenjangan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan dalam sebuah keluarga menurut saya merupakan salah satu faktor utama terjadinya perilaku kekerasan pada perempuan dan anak.
Mungkin pula perdagangan orang terjadi salah satunya karena ketidaksediaan lapangan pekerjaan akibatnya terjadi kesenjangan perekonomian sehingga perdagangan orang dianggap satu-satunya jalan keluar. Program mengentaskan kesenjangan ekonomi pada perempuan bisa dikaitkan dengan program KUR milik Kemenkop. Jika memungkinkan, setidaknya ada KUR khusus untuk komunitas perempuan, yang dilengkapi dengan pendampingan dari pemerintah agar perempuan bisa tetap berkarya namun tidak melupakan kewajibannya mengurus rumah tangga. Selama ini program KUR masih sebatas pelayanan akses kredit murah tanpa pendampingan, dengan adanya pendampingan maka program bisa lebih terkontrol, tepat sasaran dan mendorong kemandirian perempuan.