Lihat ke Halaman Asli

Hadi Sastra

Guru, Dosen, Penulis

Insyaf

Diperbarui: 28 Juli 2021   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wak Tarmad, biasa lelaki itu dipanggil. Usianya sudah kepala enam. Tubuhnya kerempeng. Matanya cekung. Kulit berwarna gelap. Rambut sudah dipenuhi uban. Pengangguran. Hobinya tak berubah semenjak muda; berjudi dan mabuk-mabukan.

Suatu hari, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Wak Tarmad pulang dalam keadaan sempoyongan. Badannya kotor. Bajunya lusuh. Rambut acak-acakan. Matanya merah. Bau alkohol. Menggedor-gedor pintu rumahnya.

“Buka pintu!” seru Wak Tarmad.

Belum ada yang membukakan pintu. Sekali lagi Wak Tarmad berteriak. Belum juga dibukakan pintu. Istri dan anaknya masih pulas.

Wak Tarmad tak sabar. “Woy, buka pintu!” teriaknya.

Sang istri bangun. Menuju ke ruang tamu. Membuka pintu. Segera Wak Tarmad mendorong pintu. Melabrak istrinya. “Dasar budek!” dampratnya. Matanya melotot. Sang istri diam. Memandang suaminya. Lalu berjalan menuju kamar.

Wak Tarmad mengoceh, “Istri kurang ajar. Suami pulang malah ditinggal.” Sambil berjalan terhuyung ke arah kamar.

Istrinya berhenti, berbalik arah. “Sampai kapan Bapak begitu terus?” tanyanya kesal. “Eling, Pak. Bapak sudah tua.”

“Diam kamu!” bentak Wak Tarmad.

“Dari dulu tidak berubah.”

“Diam!” Mata Wak Tarmad melotot tajam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline