Lihat ke Halaman Asli

Jembatan dan Tembok

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada kata-kata bijak, manusia kesepian karena mereka membangun tembok dimana seharusnya jembatan.

Saya langsung percaya waktu membaca kata-kata itu untuk pertama kali. Mungkin karena beberapa alasan, seperti salah satunya, saya sendiri mahir dan suka membangun tembok. Cuma dalam batas dan kadar tertentu yang sayangnya masih cukup sering membuat diri sendiri sadar, saya kesepian. Tidak sering memang, tapi ada.

Beberapa waktu lalu saya sedang berada di halte bis. Ya halte bis Indonesia yang ramai, panas dan kurang termanfaatkan perannya sebagai tempat turun dan naik penumpang. Tapi untuk berteduh menunggu kendaraan umum, boleh lah. Kebetulan saya sedang dalam perjalanan untuk hadir di resepsi pernikahan seorang teman jadi pakaian saya cukup membuat saya percaya diri. Namun sayangnya bukan kostum yang terasa tepat di pinggir jalan yang lingkungannya tidak seteratur dan seaman harapan saya. Tempat yang biasa memang, saya sering berada di situ, tapi hampir tidak pernah kesempatan berada di situ muncul bersamaan dengan kesempatan mengobrol dengan orang yang tidak dikenal. Salah satu penyebabnya mungkin seperti yang saya sebutkan di atas, saya kadang membuat tembok. Dan pembelaan diri saya langsung menyeruak, apa lagi yang mau dibuat jika saya merasa di tempat yang bisa mengintimidasi bahkan mengancam kelangsungan isi dompet saya? Tembok, tembok setebal-tebalnya dengan menara jaga dan menara pengawas agar sambil waspada, terus berjaga-jaga.

Nah waktu kesempatan mengusir kesepian tatkala bis yang ditunggu tidak kunjung datang, seseorang menghampiri saya dan duduk lalu mulai mengajak bicara.

"Mau kemana mas?" Pertanyaan pembuka yang sesuai teori pendekatan pada orang baru, tidak panjang, mudah dijawab dan aktual kontekstual, sesuai lokasi. Reaksi saya jelas terkejut tapi teredam hanya untuk sendiri. Reaksi yang banyak disebabkan amat jarangnya disapa di tempat seperti itu, dan lagi, pakaian saya, celaka, apa dia mengincar sesuatu. Begitu langsung pikiran saya berkerja cepat. Alarm berbunyi nyaring, memperingatkan. Jam tangan saya, atau apa dompet saya terlalu menyembul di belakang, handphone mungkin? Apa dia sendirian atau ada komplotannya?

Jadi saya tersenyum lalu menjawab,ke Kota, tunggu bis nomor 27. Itu betul, jadi saya memulai dengan kejujuran yang sportif. Oh, ke arah Kota... dia menyambung, saya mengiyakan saja dengan anggukan. Saya lalu memperhatikannya, dia bersendal jepit. Dia juga memegang barang jualannya dalam kantong plastic transparan. Permen karet yang katanya bisa sekalian memutihkan gigi, puluhan kotak jumlahnya.

"Lama nih Pak, apa sudah lewat tadi?" Tanya saya balik supaya tidak berkesan tidak sopan. Bagaimanapun dia memulai dengan sopan toh? Saya juga tahu pertanyaan ini bisa ditujukan pada siapa saja baik itu sesama calon penumpang atau juga seperti dirinya, pengembara dan penjaja yang mahir akan daerah tempat mereka berada. Jadi di luar apa orang ini penipu berbahaya atau tukang hipnoptis licin, saya bisa menemukan jalan keluar bila angkutan yang saya maksud tiba.

"Oh belum, memang sudah agak lama." Jawabnya menengok ke arah jalan. Jadi saya sekalian menemukan kesempatan untuk melihat-lihat apa dia punya komplotan atau malah lebih mengerikan, jaringan yang siap menyergap saya. Jadi sambil tengak tengok ke arah jalan, saya juga menengok sisi lain di samping tukang gorengan dan di belakang tempat beberapa penjaja suara jalanan sedang mengobrol. Seakan dari balik menara pengawas, saya melirik dan menemukan dekat tempat sampah ada tiga orang sedang mengobrol, tapi nampaknya sama sekali tidak melirik ke arah saya. Aman? Sejauh ini sepertinya iya.

"Kerja di daerah sini Pak?" Lanjutnya sambil tersenyum, sesekali menatap bawaannya yang ditariknya sedikit pada jinjingannya.

"Iya, di sana." Pendek saja sambil menunjuk sekenanya. Tembok saya tidak mengijinkan banyak celah kan, jadi jawaban ini benar, dan cukup.

Dia diam sebentar dan menengok lagi, "saya ada saudara kerja di daerah Kota, tiap hari jam enam berangkat, pulang sudah jam delapan, sembilan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline