Cuti merupakan hak bagi karyawan. Maknanya, pekerja tidak hadir bekerja sementara dengan keterangan dari pihak bersangkutan.
Aturan umum yang kita tahu, setiap tenaga kerja berhak mendapatkan satu hari cuti dalam sebulan atau dua belas hari dalam setahun.
Merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) seorang pekerja berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja dalam satu tahun. Itu jika karyawan telah bekerja minimal 1 tahun atau 12 bulan secara terus menerus di perusahaan.
Dalam kenyataannya di dunia kerja, tidak semua pekerja mau menggunakan cuti kerjanya secara penuh. Tidak banyak yang memilih cuti satu hari dalam sebulan.
Pengalaman saya selama bekerja di 'pabrik koran' (baca perusahaan media), ada beberapa alasan sehingga pekerja media jarang mengambil cuti kerjanya. Palingan hanya ketika hari libur besar keagamaan.
Dulu, saya pun sangat jarang mengambil cuti. Bahkan, ketika badan merasa kurang bugar, saya seringkali memaksakan diri untuk tetap bekerja karena merasa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan.
Kecuali bila badan benar-benar harus beristirahat di tempat tidur. Alias, tidak kuat untuk berangkat kerja mengendarai sepeda motor.
Kala itu, saya percaya pada kekuatan pikiran. Saya berpikir, meski kurang enak badan, bila dibawa bekerja, badan bakal bergerak, gembira bisa bertemu banyak orang, dan akhirnya kembali sehat.
Baru setelah berkeluarga, saya tidak lagi memaksakan diri bekerja ketika merasa tidak enak badan. Saya memilih izin bekerja. Tentunya dengan keterangan dari dokter.
Sebagai tulang punggung keluarga, saya merasa harus benar-benar menjaga kesehatan. Tidak boleh sembarangan dalam beraktivitas yang bisa menyebabkan sakit.
Tetapi memang, terlepas adanya aturan, mengambil cuti bagi awak media yang bekerja di perusahaan media itu tidak mudah.