Harry Maguire dan Marcus Rashford langsung mencopot medali yang dikalungkan Presiden UEFA, Aleksander Ceferin di podium juara. Bruno Fernandes malah enggan memakai medali itu. Dia hanya memeganginya sembari berjalan gontai.
Dalam hati, mereka mungkin berkata, buat apa memakai medali bila itu hanyalah penanda kekalahan di final. Itu sama saja dengan memperbesar rasa sakit hati.
Memang, dalam sepak bola, menang dan kalah itu sejatinya biasa saja. Cerita pertandingan memang seperti itu.
Namun, kekalahan di final itu memang menyakitkan. Berat untuk diterima. Sulit untuk menipu diri pura-pura legowo usai kalah di final.
Begitu besar kekecewaan yang dirasakan pemain-pemain Manchester United (MU) usai kalah di final Europa League 2020/21 dari tim Spanyol, Villarreal, di Gdansk, Polandia, Kamis (27/6) dini hari tadi.
MU kalah adu penalti 10-11 setelah bermain 1-1 di waktu normal dan hingga babak perpanjangan waktu. Villareal sempat unggul lewat gol Gerard Moreno di babak pertama. Lantas, Edinson Cavani menyamakan skor di awal babak kedua.
Ketika Cavani menyamakan skor, fans MU mungkin yakin timnya bakal bisa membalik skor. Come back. Bukankah musim ini, MU beberapa kali mampu melakukan come back setelah tertinggal? Namun, kali ini ceritanya berbeda. Tidak ada come back.
Tidak ada gol tambahan tercipta. Pemenang harus ditentukan lewat adu penalti. Siapa sangka, itu menjadi drama penalti paling menguras emosi yang pernah terjadi di final kompetisi Eropa. Betapa tidak, pemenang harus ditentukan oleh 11 penendang.
Penyesalan fans MU
Dan, usai pemain-pemain Villarreal merayakan gelar mengangkat trofi Piala Europa League, yang ada di kubu MU hanyalah penyesalan. Utamanya dari fans mereka.