Pada 27 September 2020 nanti, pendiri Kompas Gramedia dan Pemimpin Umum Harian Kompas, Pak Jakob Oetama akan sampai pada usia 89 tahun. Namun, 18 hari sebelum momen itu, tokoh yang disegani dan dihormati ini lebih dulu berpulang.
Jakob Oetama tutup usia pada Rabu, 9 September 2020 pukul 13.05 WIB di Jakarta dalam usia 88 tahun. Begitu informasi yang saya terima di salah satu grup WhatsApp (WA). Saya lantas penasaran mengecek kebenaran kabar tersebut.
Berselang beberapa menit kemudian, ada beberapa tautan berita di media sosial yang memang memberitakan berpulangnya tokoh pers kelahiran Borobudur, Magelang, 27 September 1931 ini.
Pernah delapan tahun bekerja di salah satu koran Grup Kompas Gramedia membuat saya punya kenangan dengan Pak JO--begitu kami biasa memanggil beliau. Meski, kenangan itu mungkin hanya secuil.
Pada September 2011 silam, dua hari sebelum ulang tahun pak Jakob Oetama yang ke-80 tahun, saya gembira luar biasa ketika mendapat buku tebal berjudul "Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama". Buku yang lama ditunggu itu akhirnya datang juga.
Seingat saya, kala itu, saya dan kawan-kawan harus memesan dulu lewat bagian sekretaris kantor sebelum bisa mendapatkan buku setebal 658 halaman berisikan "jejak langkah" Jakob Oetama yang disusun St.Sularto tersebut. Karenanya, ada kelegaan begitu buku sudah di tangan.
Seperti Pak Jakob, bersyukur dan berterima kasih
Sebuah buku bergizi. Ada banyak cerita bahkan kisah sejarah yang bisa didapat dari buku ini. Di antaranya tentang kisah perjalanan Harian Kompas yang terbit pertama pada 28 Juni 1965 dan didirikan oleh PK Ojong dan Jakob Oetama, tidak bisa lepas dari tiga titik balik yang menentukan.
Menukil dari buku tersebut, andai Jakob Oetama tidak mengambil alih tanggung jawab dengan menandatangani surat permintaan maaf pada dini hari 5 Februari 1978, lalu keputusannya memilih profesi jurnalistik sebagai panggilan hidup, dan juga kepergian mendadak PK Ojong pada 1 Mei 1980, Kompas mungkin akan tinggal nama.
Kok tinggal nama?
Sebab, Kompas mungkin akan menjadi salah satu fosil korban pembredelan. Sampean (Anda) pastinya tahu, bagaimana nasib dan situasi yang dihadapi pimpinan koran di masa itu.