Dalam buku "Sepatu Dahlan", tokoh senior media yang hingga kini masih aktif menulis, Dahlan Iskan, menyebut bahwa orang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan.
Sebaliknya, mereka dibentuk melalui serial kesukaran, tantangan, dan juga air mata.
Kata Pak Dahlan, jika semua yang kita kehendaki terus bisa kita miliki, darimana kita belajar ikhlas. Jika semua yang kita impikan segera terwujud, darimana kita belajar sabar. Dan, jika setiap do'a kita terus dikabulkan, bagaimana kita dapat belajar ikhtiar.
Saya mendadak teringat dengan kutipan Pak Dahlan itu setelah melihat sukses Bayern Munchen menapak ke final Liga Champions 2019/2020 usai mengalahkan Olympique Lyon 3-0 di semifinal, Kamis (20/8) dini hari.
Bahwa, rangkaian kutipan hebat dari Pak Dahlan itu, dulunya pernah dijalani oleh pahlawan kemenangan Bayern di laga semifinal itu, Serge "Chef" Gnabry. Jauh sebelum Gnabry menjadi pemain 'kelas dunia' seperti sekarang, dia pernah merasakan kesulitan, penolakan, dan diremehkan.
Cerita bermula sepuluh tahun silam, Gnabry yang kala itu berusia 15 tahun, dianggap bakal menjadi calon pemain besar. Arsenal yang memang rajin menempatkan 'mata-mata' pemandu bakatnya ke banyak negara, menemukan bakatnya.
Gnabry yang lahir dari pasangan ayah berkebangsaan Pantai Gading dan ibu asli Jerman, sejak belia dikenal memiliki kemampuan lari cepat. Dia memang pernah menjadi sprinter sebelum akhirnya memilih sepak bola ketimbang lintasan lari.
Tahun 2010 itu, Arsenal merekrutnya dari klub Jerman, VfB Stuttgart dengan harga hanya 100 ribu pounds. Gnabry lantas bergabung dengan Arsenal di musim 2011/12. Dia bermain di tim U-18.
Karena bermain bagus, Gnabry mendapat promosi ke tim reserves yang artinya menjadi pelapis tim senior. Pada Oktober 2012, dia memainkan debut di Liga Inggris saat Arsenal melawan Norwich. Gnabry yang berusia 17 tahun 98 hari, jadi pemain termuda kedua Arsenal yang main di Premier League. Empat hari kemudian, dia juga dimainkan sebagai pemain cadangan di Liga Champions melawan Schalke.
Namun, hanya sekali itu penampilannya di musim 2012/13 itu. Setelahnya, dia hanya menyaksikan pemain-pemain Arsenal bermain dari bangku cadangan.
Dan memang, bagi anak muda seusianya, bermain di klub setenar Arsenal bak sebuah dilema. Ada kebanggaan. Namun, dia juga harus legowo bila hanya duduk manis di bangku cadangan alias tak mendapatkan kesempatan bermain.