Apa makna Lebaran bagi sampean (Anda)?
Kebanyakan orang menjadikan masa Lebaran sebagai momentum bersilaturahmi sambil bermaaf-maafan. Bilapun tidak bisa bertemu langsung, bisa bertatap muka secara virtual.
Terpenting, Idul Fitri menjadi momen untuk membersihkan hati. Bersih dari rasa benci. Juga dendam kepada sesama. Dengan memaafkan, hati akan terasa lega.
Tapi, setiap orang bisa punya makna berbeda terhadap momen Lebaran. Dan itu bergantung pada profesi pekerjaan yang dijalani. Semisal bagi karyawan yang bekerja di perusahaan, datangnya Lebaran berarti saatnya mendapatkan Tunjangan Hari Raya.
Termasuk juga bagi penjual kuliner 'cepat saji'. Bagi sebagian mereka, Lebaran ternyata menjadi momentum untuk menyesuaikan harga (baca menaikkan harga) jualannya. Bahkan, itu seolah menjadi tradisi karena terjadi setiap tahun.
Ya, di tempat tinggal saya, setiap Lebaran usai, sehari setelahnya, harga kuliner seperti bubur ayam, nasi goreng, rujak petis, soto ayam, ataupun bakso, harganya berbeda dari sebelum Lebaran. Berbeda dalam artian naik harga.
Seperti di hari kedua Lebaran lalu, untuk sarapan, anak-anak meminta bubur ayam. Kebetulan, tukang bubur ayam yang selama ini menjadi langganan, ternyata sudah berjualan.
Setelah memesan, bubur ayam selesai dikemas, lalu dibayar, kami lantas melajukan kendaraan. Di perjalanan, saya iseng bertanya ke istri, apakah bubur ayamnya naik harga. Ternyata benar. Bubur ayam yang semula harganya 10 ribu per porsi, kini naik harga menjadi 12 ribu per porsi.
Tidak hanya bubur ayam, rujak uleg (petis) yang merupakan makanan paling diburu di tempat saya ketika Lebaran, harganya juga ikut naik. Bila sebelumnya seporsi 10 ribu, kini juga naik jadi 12 ribu. Meski mungkin tidak semua penjual menaikkan harga.
Sementara beberapa tukang nasi goreng yang umumnya berjualan pada malam hari, beberapa juga menaikkan harga menjadi Rp 12 ribu per porsi. Meski, ada yang masih bertahan di harga 10 ribu, tetapi porsinya kini tidak lagi sebanyak dulu.
Kenaikan harganya masih wajar