Sejak tahun lalu, makna 'sukses Ramadan' bagi saya tidak hanya tentang diri sendiri. Namun, bagaimana agar dua anak saya juga ikut berpuasa. Namanya ikut berpuasa, tentu dari adzan Subuh hingga adzan Maghrib. Bukan puasa setengah hari.
Namun, mengajak berpuasa anak kelas 2 SD dan kelas TK besar, hingga kini kelas 3 SD dan kelas 1 SD, tentu tidak mudah. Butuh perjuangan. Ada saja cerita menariknya.
Dari mulai susahnya membangunkan mereka saat makan sahur. Mengalihkan pikiran mereka ketika merengek minta 'mokel' alias membatalkan puasa karena merasa tidak kuat. Juga mengajak tidur siang agar badan mereka kuat untuk 'bertemu' adzan Maghrib.
Dan, bagian paling sulit adalah ketika jam 16.00 sore ke atas. Itulah masa-masa paling menentukan apakah puasa mereka berhasil atau tidak. Ketika rasa haus dan dahaga mereka seolah di puncak-puncaknya. Sementara Maghrib tinggal hitungan satu jam lebih beberapa menit saja.
Sebagai orang tua, rasanya amat disayangkan bila mereka membatalkan puasa, sementara Maghrib tinggal sebentar lagi. Apalagi bila melihat ulang bagaimana perjuangan mereka dari bangun sahur lantas bertahan hingga sore.
Karenanya, agar tetap kuat berpuasa, kami perlu merancang 'jurus jitu' agar mereka melupakan rasa lapar dan dahaganya. Caranya dengan melakukan ngabuburit asyik yang menyenangkan bagi mereka. Sehingga, tanpa terasa adzan Maghrib sudah terdengar.
Dari "setor hafalan" hingga main game lawas
Nah, salah satu jurus jitu itu tidak adalah gawai. Sebab, bagi anak generasi sekarang, gawai adalah benda yang bisa memalingkan mereka dari dunianya. Ragam game di gawai bahkan bisa membuat mereka lupa lapar dan haus.
Saya paham, anak-anak ada di zaman yang sangat berbeda dengan saya yang dulunya ketika ngabuburit sudah senang luar biasa saat mengejar layang-layang di sawah, bermain di lapangan, ataupun main petasan bambu di kebun.
Aktivitas yang dulu sangat menyenangkan itu, kini sudah mulai dilupakan. Bukan hanya karena eranya memang sudah berbeda. Tapi, di era wabah Covid-19 seperti sekarang, melewatkan ngabuburit di rumah saja, menjadi pilihan terbaik bagi anak-anak.
Namun, meski memberi mereka waktu untuk bermain gawai menjelang maghrib, saya tidak mau sembarangan asal memberi. Ada beberapa syarat yang harus mereka sepakati. Anak-anak harus terlebih dulu 'lulus' melewati syarat tersebut.