Setiap masa ada orangnya. Setiap orang ada masanya.
Sampean (Anda) mungkin pernah mendengar kalimat singkat tersebut. Kalimatnya sederhana. Tapi, maknanya bisa dalam.
Maknanya kira-kira, bahwa setiap orang itu ada masa jayanya. Punya masa jaya sendiri-sendiri. Boleh jadi gagal sekarang, tetapi di lain waktu dia akan berhasil.
Dan karena ada masanya, tentu kejayaan itu tidak akan bertahan selamanya. Tapi ada periode yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Bila periodenya habis, ya habislah masa jayanya. Berganti dengan orang lain yang menemukan masa jayanya. Itu bak sebuah siklus bulan.
Karena memang, bukan hanya setiap orang ada masanya. Tapi, setiap masa juga ada orangnya. Maknanya, dalam setiap masa, ada lakon utama yang bisa berbeda-beda. Orang yang berjaya selama masa A, belum tentu bisa kembali sukses di rentang waktu masa B. Sebab, ada orang lain yang menjadi lakon baru dalam masa B terseut.
Menariknya, makna kalimat sederhana tersebut, ternyata bisa relevan untuk dibawa ke panggung apa saja. Bisa untuk menggambarkan perebutan kekuasaan di panggung politik. Cocok untuk mengilustrasikan suksesi kepemimpinan dalam pemerintahan. Juga pas untuk mengisahkan kejayaan sebuah klub sepak bola dalam skala global.
Lika-liku Roberto Firmino, dilupakan di final Liga Champions, jadi bintang di FIFA Club World Cup
Keberhasilan tim Inggris, Liverpool meraih tiga gelar internasional sepanjang tahun 2019 ini, juga tidak lepas dari slogan "setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya" itu. Utamanya menyangkut peran penyerang mereka asal Brasil, Roberto Firmino.
Ya, sepanjang tahun ini, Firmino tidak selalu menjadi bagian utama dari cerita kehebatan Liverpool di era kepelatihan Juergen Klopp. Dia pernah merasakan "sepi dalam keramaian". Lantas, dini hari kemarin, dia akhirnya bisa menjadi figur 'yang diperbincangkan' dalam keramaian pesta juara Liverpool.
Dulu, ketika Liverpool menjadi juara Liga Champions di Kota Madrid pada 1 Juni 2019, nama Firmino seakan menghilang. Diharapkan menjadi pemain penting, dia malah tidak tampil bagus. Bahkan, dia sudah ditarik keluar di menit ke-58.
Penampilannya di final itu tidak diingat banyak orang. Malah, orang semakin melupakan perannya karena justru pengganti dirinya, Divock Origi yang menjadi pemasti kemenangan Liverpool, 2-0 atas Tottenham Hotspur.
Dari situ, kita bisa dengan mudah bilang bahwa final Liga Champions yang berujung gelar keenam bagi Liverpool tersebut, bukanlah masanya Firmino. Meski timnya sukses jadi juara, tapi bukan dia yang menjadi lakon utama. Mo Salah, Origi, dan kiper Alisson Becker-lah sang lakon.