Pernahkah Anda mendengar kisah toples kosong yang bisa diisi tiga benda sekaligus?
Bahwa ada beberapa bola golf, dua genggam kerikil, dan juga dua genggam pasir yang harus dimasukkan ke dalam toples kosong. Bagaimana caranya agar tiga benda tersebut bisa sekaligus masuk ke dalam toples kosong?
Jawabannya bergantung bagaimana urutan memasukkannya ke dalam toples. Bila kita menempatkan pasir atau kerikil lebih dulu, maka tidak akan ada ruang untuk bola golf. Ketiga benda tersebut hanya bisa masuk dalam satu toples bila bola golf ditempatkan lebih dulu, lalu kerikil menempati sela diantara bola, lantas pasir mengisi celah tersisa.
Apa pesan penting dari "teori toples" ini? Bahwa bola golf, kerikil, dan pasir itu merupakan gambaran tentang apa yang kita cari dalam hidup ini.
Toples itu mewakili hidup kita. Bola golf adalah hal-hal penting dalam hidup kita seperti keluarga dan kesehatan. Kerikil adalah hal lainnya seperti pekerjaan juga mobil. Sementara pasir adalah hal-hal kecil lainnya. Adapun urut-urutan memasukkan adalah prioritas yang kita lakukan.
Kisah toples kosong, bola golf, kerikil, dan pasir itu juga berlaku dalam hidup. Bahwa, bila kita menghabiskan seluruh energi untuk hal-hal kecil, maka kita tidak akan punya waktu memperhatikan hal-hal yang lebih penting untuk kebahagiaan kita.
Sebenarnya itu teori yang mudah dilakukan. Banyak orang yang akan mampu memasukkan ketiga benda itu ke dalam toples sesuai urutan yang benar. Namun, bila dalam kehidupan sebenarnya, banyak orang yang ternyata tidak mampu memiliki prioritas yang benar. Saya pun pernah mengalami salah prioritas itu.
Dulu, di masa-masa awal bekerja di "pabrik koran" setelah lulus kuliah, saya menganggap pekerjaan adalah segalanya. Bagi saya yang kala itu masih bujangan, pekerjaan adalah jembatan menuju kebahagiaan.
Saya berharap ingin membangun keluarga, lantas memiliki beberapa aset penting seperti rumah dan tanah. Juga punya kendaraan pribadi. Dan saya berpikir semuanya itu bersumber dari penghasilan bekerja.
Pendek kata, saya merasa bahwa bahagia atau tidaknya hidup, bergantung dari pekerjaan itu.
Demi merealisasi harapan itu, saya 'memaksa' diri untuk bekerja gigih. Berangkat pagi pulang malam. Pagi hingga sore melakukan liputan ke lokasi peliputan. Lantas, ke kantor untuk menuliskannya menjadi berita.