Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Dampak Jahat Gawai pada Anak yang Perlu Disadari Orangtua

Diperbarui: 25 Desember 2018   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi anak main gawai | irishtime.com

Bagi pasangan suami istri yang sudah memiliki anak-anak, waktu bisa berduaan terkadang menjadi momen yang dirindukan. Bisa keluar rumah, nongkrong berdua sembari mengobrol hal-hal remeh temeh hingga yang serius. Nah, tadi malam, saya bisa mendapatkan momen tersebut.

Mumpung anak-anak sudah tidur, kami bisa menikmati malam berdua. Meski sekadar makan mie ayam di warung favorit yang tidak jauh dari rumah. Karena bila bepergian jauh dari rumah yang artinya bakal lama, malah kepikiran anak-anak di rumah. Begitulah, ingin berduaan tetapi pikiran tetap terpaut di rumah.

Nah, selama menikmati mie ayam paling enak--di dekat tempat tinggal saya--yang porsinya kini semakin berkurang tetapi harganya semakin naik dibandingkan pas zaman sebelum menikah dulu, pandangan saya sesekali tertuju pada seorang bocah yang sedang makan mie bersama ibunya. Mereka duduk berhadapan dengan kami. Bocah tersebut sekira kelas 4 SD. Hanya dia saja yang dipesankan mie oleh sang ibu. Sementara ibunya sekadar menunggu.

Selama proses menunggu mie tersebut, si bocah terlihat asyik memainkan gawainya. Dari suara gawainya, mudah menebak itu game terkenal yang juga jadi favorit anak-anak sepantarannya. Termasuk anak mbarep (sulung) saya.

Setelah mie ayam dihidangkan ke meja, bocah tersebut juga masih asyik bermain. Ibunya sesekali menegur, "ayo di makan mie nya". Setelah beberapa menit, saya dan istri selesai menyantap semangkuk mie ayam. Beberapa orang di samping saya yang datang belakangan setelah bocah tersebut, juga sudah menghabiskan mie ayam mereka.

Dari sini, si ibu bocah tersebut mulai gusar. Dia kembali berujar "ayo segera di makan, apa kamu mau tidur di sini?". Bocah tersebut bukannya tidak menyentuh mie nya. Namun, sekali menyantap mie, lantas matanya kembali menatap gawainya.

Beberapa orang lantas mulai ikut bersuara. "Anak-anak memang kalau sudah pegang HP, sudah lupa segalanya," ujar seorang bapak di samping saya. Si ibu bocah itu pun menjawab, "Iya pak, dia kalau pegang HP jadi gampang marah. Diingatkan langsung ngamuk," ujar sang ibu.

Saya dan istri sekadar ingin menjadi pendengar saja sembari tersenyum. Adegan berikutnya, si ibu yang mungkin sudah kehilangan kesabaran, kembali berujar "ayo segera dihabiskan, orang lainya semua sudah habis (mie ayamnya), tinggal kamu saja". Mendengar ucapan ibunya, sang bocah itu menjawab, "Ya aku kan makannya sambil main HP, makanya lama," sembari keluar dari warung, menuju ke motor yang terparkir.

Cerita nyata di warung ayam tersebut bak gambaran hubungan gawai dengan anak-anak era kekinian. Bukan hanya mereka yang tinggal di kota, anak-anak yang tinggal di kawasan tambak yang jauh dari kota pun sudah keranjingan gawai. Lha wong beberapa warung kopi dengan fasilitas free wi-fi, pelanggannya kebanyakan anak-anak. Kebanyakan dari mereka seolah hanya bisa menemukan kebahagiaan dari gawai. Bila sehari tidak memegang gawai, rasanya tersiksa.

Padahal, gawai itu punya efek yang 'mengerikan'. Gawai itu bisa berdampak jahat pada anak-anak. Bukan hanya efek pada kesehatan, tetapi juga efek perkembangan karakternya. Sebagai orang tua, saya tidak melarang anak-anak berkenalan dengan gawai. Namun, saya membatasi mereka. Hanya boleh ketika akhir pekan. Itupun hanya selama waktu yang telah disepakati.

Meskipun sudah dibatasi hari dan lama 'main' nya, efek HP ini jelas terasa. Mereka cenderung jadi egois, semisal tidak mau bergantian dengan kakak/adiknya. Juga mudah ngambek atau marah bila "jam bermainnya" tidak sesuai harapan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline