Penghujung tahun itu periode tepat untuk 'bercermin'. Kita bisa berkaca dan melihat kembali perihal apa saja yang telah kita lakukan sepanjang tahun 2018. Dengan bercermin, kita bisa menemukan motivasi untuk menjadi lebih baik atau mengucap stop untuk aktivitas yang dirasa kurang menguntungkan atau berdampak buruk pada kondisi kejiwaan. Salah satuny terkait pekerjaan.
Nah, selama satu bulan terakhir, saya yang bukan motivator ataupun psikolog ini, dicurhati beberapa kawan perihal pekerjaan mereka. Mungkin karena mereka menganggap saya yang "pekerja rumahan tapi banyak garapan" ini punya cukup waktu longgar untuk mendengarkan curhatan mereka sembari mencarikan jalan keluar. Intinya, mereka tidak merasa nyaman bahkan tertekan bekerja di tempat kerjanya sehingga memutuskan untuk mundur di akhir tahun ini.
Ada kawan yang merasa bekerja tidak sesuai dengan dekripsi kerja yang telah disepakati bersama di awal akan masuk kerja. Kawan yang bekerja di lingkungan pendidikan usia dini tersebut mengaku diberi limpahan pekerjaan yang seharusnya bukan bidang pekerjaannya.
Imbasnya, pekerjaannya jadi menumpuk. Sementara "para senior" seolah merasa ketiban rezeki karena ada orang yang bisa diserahi menyelesaikan pekerjaan mereka. Lalu mereka ngapain? Entahlah. Yang jelas, dia mantap segera mengajukan resign. Dia tertarik mencoba tawaran pekerjaan baru yang datang dan kelihatannya lebih menarik.
Kawan lainnya bercerita, dia merasa tidak lagi menemukan kenyamanan ditempat kerjanya di tahun kedua bekerja. Dengan perubahan pimpinan dan juga rekan kerja, dia kini merasa tidak "diuwongke" (dimanusiakan). Bila di tahun pertama, suasananya nyaman bak taman bermain, di tahun kedua ini dia merasa tempat kerjanya berubah seperti medan perang.
Karenanya, dia mantap memilih mengundurkan diri di akhir tahun ini. Dia ingin bekerja yang membuat dirinya bisa leluasa mengekspresikan kemampuannya. "Tengah bulan ini saya akan pamitan," ujarnya.
Ada juga kawan yang mengeluh karena jadi korban friksi antar dua atasan di kantornya. Padahal, dia baru dua bulan bekerja sebagai "tukang nulis". Sayangnya, editor yang sebelumnya bisa ngemong dia, mendadak mundur karena beda pendapat dengan juragan kantor tersebut. Jadilah dia bak ayam tanpa induk. Terlebih, sang juragan yang kurang paham dunia tulis-menulis tersebut, kini merangkap editor yang mengendalikan semua produk tulisan sebelum dimuat.
"Saya sekarang bawaannya jadi uring-uringan, bad mood meski kalau di kantor yang ditahan. Yang jelas, habis ini saya out. Sudah tidak ada yang diharapkan lagi dari sini," sebut kawan yang mengaku sudah punya beberapa rencana untuk ditindaklanjuti.
Saya mengenal tiga kawan tersebut. Termasuk potensi dan kemampuan mereka. Karenanya, saya tidak khawatir bila mereka mundur. Mereka tidak akan menjadi tunakerja atau sekadar duduk di sofa depan televisi menunggu panggilan kerja seperti iklan yang lagi ramai dibicarakan di jagad media sosial itu. Karena mereka punya kualitas, pekerjaan yang akan menghampiri mereka.
Saya pun pernah mengalami situasi yang kurang lebih sama seperti mereka. Kesamaan dalam hal ketika ingin mundur dari tempat kerja. Bedanya, saya tidak pernah merasakan tempat kerja yang bak neraka. Kalaupun pernah mundur dari dua tempat kerja yang sebenarnya keren, itu karena pertimbangan keluarga. Sebab, keluarga jauh lebih penting dari sekadar bekerja di tempat kerja A atau B. Toh, bekerja bisa di mana saja.
Dalam pemahaman saya, bekerja itu soal rasa. Ia bukan tentang menghasilkan duit saja. Ada yang jauh lebih bermakna. Sebab, kalau hanya soal duit, bila kita punya kemampuan yang dicari banyak orang, bila kita memiliki sikap yang disukai banyak orang, Insya Allah duit (pekerjaan) yang akan menghampiri kita.