Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Seperti Arsenal, Beranilah Keluar dari Zona Nyaman Melenakan

Diperbarui: 3 November 2018   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Unai Emery, memipin Arsenal keluar dari zona nyaman/Foto: Arsenal.com

Apa sih salahnya zona nyaman sehingga ia acapkali disalahkan? Sehingga, ada banyak kata sakti memotivasi bahkan lagu yang mengajak orang untuk meninggalkan zona nyaman. Keluar dari zona nyaman.

Saya bukan pembenci zona nyaman. Justru, saya menyukai kenyamanan. Sebab, di manapun, kita sejatinya menginginkan kenyamanan. Sebuah ketenangan batin. Di rumah, kita butuh kenyamanan dalam berkeluarga. Di tempat kerja, kita perlu merasa nyaman dengan apa yang kita kerjakan. Merasa nyaman dengan lingkungan kerja. Bukankah mayoritas orang seperti itu?

Dan memang, sebenarnya tidak ada yang salah dengan zona nyaman. Yang salah adalah bila zona nyaman itu ternyata melenakan. Bila kenyamanan itu "menutup pintu" pada hal-hal baru yang inovatif. Bila yang menjalaninya jadi terlena dengan situasi berulang yang begitu-begitu saja tanpa ada niatan untuk berubah menjadi lebih baik. Zona nyaman jenis ini yang keliru.

Gambaran seperti itu yang pernah dialami klub Inggris, Arsenal. Arsenal pernah merasakan zona nyaman ketika masih dilatih oleh Arsene Wenger.

Sejak pria Prancis ini datang melatih pada awal musim 1996-97, Arsenal langsung merasa nyaman. Klub berlogo meriam ini meraih gelar demi gelar di awal kepemimpinan Wenger. Di satu dekade pertama Wenger bertugas, Arsenal meraih tiga (3) trofi Liga Inggris, empat (4) trofi Piala FA plus empat kali juara FA Community Shield. Wenger bahkan pernah membawa Arsenal tidak terkalahkan dalam satu musim (2003-04).

Bahkan, tepat pada 10 tahun era Wenger, Arsenal untuk kali pertama tampil di final Liga Champions. Sayangnya, Arsenal gagal menjadi tim London pertama yang bisa juara Liga Champions usai kalah 1-2 dari Barcelona.

Di periode dekade kedua, Arsenal mulai kesulitan bersaing dalam perebutan gelar juara Liga Inggris. Meski, Arsenal masih bisa meraih tiga Piala FA dan tiga trofi Community Shield.

Namun, setelah 20 tahun kepemimpinan Wenger, Arsenal mulai "terjebak" dengan kenyamanan yang melenakan. Setiap musim, mereka tidak perlu repot-repot melakukan perubahan. Lha wong pelatihnya tetap. Lha wong pemain-pemain yang datang juga palingan satu dua. Awal musim dilalui tanpa ada friksi. Nyaman saja. Sayangnya, semua itu melenakan Arsenal.

Jangankan menjadi juara, Arsenal "turun kelas" dari tim pemburu gelar menjadi tim pemburu zona Liga Champions. Yang penting lolos ke Liga Champions. Gelar Liga Inggris 2003-2004 silam menjadi yang terakhir.

Malah, di kalangan warganet, Arsenal menjadi klub yang paling sering di-bully. Dibilang "klub lawak" lha (ungkapan warganet merujuk kekalahan yang tidak biasa). Dibilang paling sering "masuk gua" lha (bahasa warganet merujuk tim yang kalah).

Wenger sendiri bukannya tidak pernah "digoyang". Dalam empat tahun terakhir, namanya sering dikabarkan oleh media akan didepak. Namun, baru di akhir musim 2017/18, Wenger benar-benar berpisah dari Arsenal. Dengan "kado pahit", Arsenal gagal lolos ke Liga Champions.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline