Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Merasa Berlebihan Ingin Dihormati Orang Lain, Wajarkah?

Diperbarui: 31 Oktober 2018   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Punya gelar tinggi bukan berarti berlebihan ingin dihormati oleh orang lain/Foto: Normantis.com

Menghormati orang lain bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya dengan menyebut nama panggilan yang baik. Termasuk menyebut gelar yang dimilikinya. Baik itu gelar yang diperoleh dari pendidikan ataupun gelar karena ibadah.

Semisal di dunia pendidikan, mereka yang bergelar profesor, akan lebih elok bila kita memanggil namanya dengan embel-embel kata 'prof'. Tidak sekadar pak atau ibu. Begitu juga mereka yang baru saja menunaikan ibadah haji, sudah sewajarnya bila kita memanggil mereka dengan panggilan "pak haji, bu haji, abah atau ummi".

Yang tidak elok dan terkesan kurang menghormati orang lain adalah ketika kita sengaja mengabaikan gelar tersebut alias pura-pura tidak tahu meskipun kita sejatinya tahu. Sehingga, kita memanggil mereka dengan panggilan seadanya.

Nah, yang juga tidak elok adalah ketika yang berpunya gelar tersebut merasa berlebihan ingin dihormati orang lain. Sehingga, ketika ada orang lain yang tidak memanggil dengan panggilan yang mereka ingini, mereka akan marah ataupun terbawa perasaan (baper).

Masalahnya, bagaimana jika orang lain yang memanggil dia ternyata tidak mengetahui gelar yang dimilikinya? Lha wong tidak semua orang tahu 'perjalanan hidup' nya.

Masak iya, orang yang tidak tahu itu lantas dimarahi. Masak iya, ketika dia diundang warga kampung untuk tasyakuran ataupun kondangan khitanan/nikahan, tidak mau datang hanya karena nama yang tertulis di undangannya tidak tertera gelarnya (karena yang mengundang tidak tahu). Lantas, mengabaikan undangan tersebut karena merasa yang diundang itu bukan dirinya, tetapi orang lain. Lha wong tidak ada gelarnya.

Sampean (Anda) mungkin pernah mendapati cerita atau bahkan pernah mengetahui langsung orang-orang yang merasa ingin dihormati secara berlebihan oleh orang lain. Sehingga pola pikirnya menjadi sangat kaku. 

Saya kebetulan pernah menulis di majalah sebuah kampus. Ada seorang kawan yang juga ikut menulis. Nah, kawan saya (yang memang bukan alumnus kampus tersebut) itu mendapat tugas untuk mewawancara seorang dokter muda yang sudah bergelar profesor. Karena memang tidak tahu, dia memanggil dokter muda tersebut dengan panggilan "pak dokter" sebelum mengawali wawancara. Yang terjadi, dia pun 'diceramahi' oleh profesor berusia muda tersebut.

Meski, itu sekadar sebuah kesalahpahaman. Mungkin kawan saya tersebut memang salah karena tidak mencari tahu profil sosok yang akan ia wawancara. Sementara pak profesor mengira kawan saya itu anak kampus tersebut sehingga beranggapan masak tidak tahu gelar keilmuannya.

Nah, perihal mereka yang merasa layak mendapatkan penghormatan lebih dari orang lain karena gelarnya, saya mendadak teringat kejadian tadi pagi ketika mengantar istri berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung kelontong milik seorang teman di kampung.

Bagi saya, berbelanja di toko kelontong memiliki keasyikan yang tidak didapatkan ketika berbelanja di minimarket waralaba. Terlebih ketika membeli beras, telur, ataupun tepung, masih ada 'prosedur' menimbang di timbangan sesuai jumlah yang dibeli pembeli. Bagi sebagian orang, mungkin itu kurang praktis. Namun, toh belanja tidak selalu butuh kecepatan ataupun kepraktisan.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline