"A state without the means of some change is without the means of its conservation". Begitu kata Edmun Burk menyoal tentang perubahan yang pasti terjadi di sebuah negara.
Bila diterjemahkan bebas, Burke bilang begini, negeri tanpa perubahan adalah negeri yang tidak akan lestari. Oleh karena itu, pasti saja kita harus mengantisipasi dan memanajemen perubahan yang ada dengan pendekatan-pendekatan baru.
Bila ujaran Burke itu disederhanakan menjadi level manusia/pribadi (bukan negara), maknanya berganti menjadi manusia yang tanpa perubahan adalah manusia yang tidak akan lestari.
Ya, manusia akan senantiasa berubah. Bukan hanya usianya, tetapi juga kebiasaan-kebiasaanya, selera musik, tabiatnya apalagi afiliasi politiknya yang acapkali diibaratkan dengan pengandaian isuk dele sore tempe.
Semasa kuliah dulu, saya memiliki kawan yang gemar menyanyi. Salah satu penyanyi favoritnya adalag Afghan. Orangnya dulu easy going. Pola berpikirnya menyenangkan. Dia tidak suka berpikir berat-berat semisal politik.
Kini, setelah berpuluh tahun, kawan saya itu ternyata sudah berubah. Di grup WhatsApp ataupun di akun media sosialnya, dia yang dulu 'malas' ngomong politik, kini justru paling vokal diantara kawan lainnya. Bahkan terkadang nyinyir.
Entah "apa yang dimakannya" selama sekian tahun tidak bertemu sehingga bisa berubah begitu drastis.
Dari beberapa kawan lama, sejatinya, bukan hanya dia yang berubah. Hampir semuanya berubah. Bukan hanya tampilan fisiknya yang rata-rata lebih subur.
Ada yang berubah jadi lebih religius, bijaksana. Ada juga yang dulu pemalu kini bicaranya ceplas-ceplos.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan perubahan. Manusia memang harus berani berubah.
Namun, berubah tentunya harus menjadi lebih baik. Minimal menjadi manusia bermanfaat banyak orang. Manusia yang kehadirannya disukai dan dirindukan banyak orang.
Jangan malah berubah menjadi lebih egois, sempit pola pikirnya, merasa paling benar, apalagi bila sudah berani memproduksi informasi bohong.