Ada banyak jenis orang gila di negeri ini. Dari yang gila beneran, sampai gila 'jadi-jadian'. Kalau yang gila beneran, tipikal orang gila seperti ini kudu diperhatikan.
Di beberapa kota seperti di Surabaya, orang gila baik itu orang asli Surabaya atau warga pendatang, dirawat di lingkungan pondok sosial (Liponsos) dan mendapatkan jatah makanan setiap hari.
Seharusnya, orang gila asli Surabaya saja yang dirawat. Tetapi, tentunya tidak mungkin menanyai orang gila tentang asal-usul mereka dari mana. Bisa-bisa yang menanyai malah ikut-ikutan gendeng.
Jumlah orang gila beneran ini masih kalah banyak dari orang gila jenis baru yang banyak terdapat di negeri ini. Ada yang namanya gila jabatan, juga gila hormat. Orang gila seperti ini sama sekali tidak terlihat gila. Mereka waras dan juga sehat. Mereka tampil rapi. Mereka juga menduduki jabatan penting. Bahkan, banyak yang berpendidikan tinggi. Namun, pikiran dan hati mereka sudah tertutupi oleh ambisi dan kesombongan. Jadilah mereka gila jabatan. Jadilah mereka gila hormat.
Lihat saja, ada banyak orang di negeri ini yang perilakunya kadang aneh-aneh. Ada yang naik pesawat komersial tetapi merasa seperti naik pesawat pribadi. Jadinya, ketika dia diingatkan pramugari untuk tidak menggunakan ponsel di dalam pesawat karena memang aturan dan standar internasional penerbangan seperti itu, dia malah marah-marah. Dia merasa jadi orang penting sehingga ingin orang lain harus menghormatinya.
Tetapi memang, tidak sedikit pejabat di negeri ini yang dilanda kegenitan ingin dihormati dan dipuji. Mereka ingin diperhatikan banyak orang. Maunya mereka, semua hal-hal baik yang mereka lakukan bisa diekspos besar-besar agar masyarakat tahu kalau mereka itu orang baik. Bagi mereka, tidak penting menjadi orang baik. Tetapi lebih penting menjadi orang yang terlihat baik.
Membaca berita-berita di koran tentang pejabat yang merasa memiliki peran lebih penting dari lainnya, saya jadi teringat pria bernama Tenzing Norgay. Kepada pria ini, jenis orang gila hormat dan gila jabatan di negeri ini, hendaknya belajar tentang kebersahajaan dan keikhlasan.
Dinukil dari beberapa literatur, sejarah mengingat Tenzing Norgay sebagai "pendamping" dalam penaklukan puncak Himalaya untuk kali pertama. Sehari-hari, pria Nepal ini bekerja sebagai penggembala di Himalaya. Disela kesibukannya, dia kadang dolan ke Everest, puncak tertinggi Himalaya.
Hobi itu membuatnya tahu persis arah mana yang mudah untuk mendaki ke Everest. Karenanya, ketika pendaki asal Selandia Baru bernama Edmund Hillary akan mendaki Everest, orang yang dimintai tolong adalah Tenzing Norgay. Sebagai pemandu, Tenzing pasti berada di depan agar orang yang dipandu tidak salah arah.
Dan pada 29 Mei 1953, keduanya sampai di Everest tanpa orang tahu apa yang sebenarnya terjadi di puncak tertinggi di bumi itu. Begitu turun, banyak wartawan mewawancarai Edmund dan hanya satu wartawan bertanya pada Tenzing.
"Sebagai pemandu, mestinya Anda lebih dulu menginjakkan kaki di puncak Everest," tanya si wartawan. "Betul, saya ada di depannya. Tapi, tinggal selangkah mencapai puncak, saya persilahkan Edmund mendahului saya," ujar Tenzing.