Berbahagialah mereka yang belum mengenal atau memang memutuskan untuk tidak mengenal media sosial di era sekarang. Meski menjadi "orang ketinggalan zaman" ketika memiliki akun di media sosial seolah sudah seperti keharusan, tetapi keputusan itu memberikan dampak bagus. Minimal mereka tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh riuh dan gaduhnya warganet di media sosial.
Namun, menjaga jarak dengan media sosial juga kurang bagus karena bisa menyebabkan kita ketinggalan informasi bila tidak diimbangi dengan mengakses informasi dari saluran media lainnya. Terlebih bagi mereka yang setiap hari berinteraksi dengan banyak orang. Dilema seperti itulah yang dihadapi masyarakat di era media sosial seperti sekarang.
Dan bila seperti itu, sosok yang berbahagia sejatinya bukanlah mereka yang tidak mau berkenalan dengan media sosial. Namun, yang paling berbahagia adalah mereka yang aktif di media sosial tetapi bisa berinteraksi dengan baik dan memberikan kemanfaatan bagi sesama warganet. Merekalah sosok yang menjadi pencerah di era media sosial yang suram. Nah, peran sebagai 'api pencerah' yang bisa mencerahkan kesuraman media sosial itulah yang ingin saya lakukan bila menjadi menteri agama (Menag) RI.
Kesuraman Media Sosial
Dunia media sosial kini memang suram. Setiap kita 'mengetuk pintu' dan masuk di dunia media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan ujaran kebencian dan provokasi yang berseliweran. Kita bisa dengan mudah mendapati betapa nyinyirnya beberapa warganet ketika berkomentar di akun media sosial pejabat negara yang padahal postingan foto atau unggahan status tulisannya berisi pesan-pesan positif.
Bahkan, informasi yang sejatinya menyajikan fakta yang diunggah oleh media massa kredibel melalui akun media sosialnya, bisa menjadi chaos adu komentar beraroma kebencian dari dua belah pihak warganet yang berseberangan.
Belum lagi kabar hoaks yang rentan menyinggung suku, agama, ras dan golongan tertentu yang diolah dengan kalimat sedemikian rupa bahkan sampai dibuatkan infografis, kemudian diposting di media sosial. Celakanya, kabar hoaks yang jelas-jelas tidak benar itu lantas dibagikan (di-share) oleh orang-orang yang entah malas atau memang tidak mau mencari tahu kebenaran ceritanya. Celakanya lagi, kabar hoaks itupun menyebar luas dan memprovokasi warganet di media sosial, bahkan menyebabkan ketegangan antarumat di Indonesia.
Bila sudah seperti itu, tidak seharusnya orang-orang yang ingin menegakkan kebenaran, diam saja. Sebab, diam berarti sama saja dengan membiarkan kabar hoaks yang menyebabkan perpecahan umat, semakin membesar.
Mencerahkan media sosial melalui postingan inspiratif dan bikin adem
Karenanya, bila saya menjadi Menteri Agama RI, sudah menjadi kewajiban baik sebagai pribadi maupun lembaga Kementerian Agama RI untuk terus menggaungkan kampanye bijak bermedia sosial. Dan, kampanye bijak untuk bermedia sosial tersebut bisa dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, saya ingin menjadikan akun media sosial saya sebagai "pencerah" dengan memproduksi postingan-postingan yang mencerahkan dan bikin adem warganet. Semisal postingan yang menginspirasi, membangun motivasi dan bila perlu memberikan klarifikasi perihal berita hoaks yang beredar yang berkaitan dengan kewenangan sebagai menteri agama.