Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Salam Tempel Lebaran, yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dilakukan

Diperbarui: 11 Juni 2018   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beragam amplop unik untuk salam tempel ketika Lebaran/Foto: pegipegi.com

Apakah sampean sudah menyiapkan anggaran khusus untuk keperluan 'salam tempel'di hari Lebaran nanti? Atau bahkan, sampean sudah menyiapkan berlembar-lembar uang kertas baru yang masih mulus untuk dibagi-bagikan kepada keponakan-keponakan.

Entah siapa yang dulu mengawalinya, 'salam tempel' menjadi tradisi Lebaran yang bahkan yang dilakukan lintas generasi. Malah, tradisi ini dikemas dengan cara kekinian, sesuai perkembangan zaman.

Semisal zaman saya kecil dulu, seingat saya belum ada 'aturan' salam tempel menggunakan uang kertas baru. Namun kini, uang kertas baru ini seperti sebuah keharusan. Jadilah tempat penukaran uang baru di bank-bank, marak didatangi masyarakat sejak hari pertama bulan Ramadan lalu. Pun, jasa penukaran uang baru, mendadak bermunculan di pinggir jalan.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, salam tempel ketika Lebaran ini tidak hanya diberikan secara 'mentahan' berupa uang kertas. Kini tersedia amplop mini dengan beragam bentuk dan gambar lucu-lucu sehingga si penerima salam tempel akan semakin senang.

Salam tempel sebagai "latihan berbagi" kepada sesama

Menurut saya, tidak ada yang salah dengan tradisi salam tempel selama Lebaran. Malah, salam tempel ini bisa menjadi sarana "latihan untuk berbagi" dan menyenangkan orang lain.

Melalui tradisi salam tempel ini, kita diajari untuk secara sadar dan tanpa paksaan, mau menyisihkan duit yang kita miliki lantas diberikan kepada orang lain. Bukankah itu hebat.

Semasa kecil, saya merupakan 'penerima' salam tempel  ketika Lebaran. Dulu, saya seringkali disuruh ibu untuk mengantarkan hantaran berupa kue tradisional atau masakan ibu seperti lontong lodeh plus ketupat ke kerabat dan tetangga. Nah, dari hantaran itu, saya biasanya diberi salam tempel. Sebaliknya, ketika ada anak-anaknya tetangga dan kerabat yang mengantarkan hantaran ke ibu, mereka juga mendapatkan salam tempel. Makanya, dulu istilah salam tempel ini di tempat saya disebut "tinju" karena mungkin saling berbalas memberi itu.

Lantas, ketika saya sudah SD, salam tempel yang saya terima sudah berubah, tidak lagi menjadi pengantar hantaran. Saat keluarga besar berkumpul di rumah ibu, ataupun ketika unjung-unjung ke rumah kerabat, maka saudara-saudara yang sudah bekerja, akan membagi-bagikan salam tempel. Bagi anak kecil seperti saya kala itu, salam tempel tersebut menjadi salah satu momen paling menyenangkan ketika Lebaran.

Nah, siklus salam tempel itu terus berlanjut lintas generasi. Ketika saya dan saudara sepantaran sudah bekerja, ketika Lebaran tiba, tanpa ada paksaan, saya pun merasa mendapat giliran untuk berbagi salam tempel kepada anak-anak dari saudara yang dulunya rajin membagikan-bagikan "uang saku" ketika Lebaran. Jadi, ada siklus berbagi yang berlangsung turun-temurun.

Dari sudut pandang kemauan untuk berbagi dengan menyisihkan uang hasil gaji, tradisi salam tempel tentunya bagus. Bermula dari salam stempel yang dilakukan setahun sekali, siapa tahu akan muncul kepekaan untuk senang membantu orang lain di waktu-waktu lainnya, tidak perlu menunggu Lebaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline