Merayakan Lebaran ketika semasa masih bocah adalah masa paling menyenangkan. Kala itu, Lebaran merupakan momentum setahun sekali ketika mendapatkan hadiah baju dan celana baru, 'salam tempel' dari kerabat dan juga bermacam-macam kue enak dan sirup yang tersedia di rumah. Terlebih bagi seorang anak yatim piatu seperti saya, masa Lebaran benar-benar menjadi "hujan rezeki".
Semasa kecil dulu, momen Lebaran bagi saya berarti waktunya mendapatkan hadiah. Ada banyak orang baik yang datang ke rumah "keluarga kedua" yang sejak kecil saya anggap sebagai orang tua sendiri, untuk memberikan santunan berupa uang, juga hadiah-hadiah lainnya seperti baju atau sarung baru kepada saya.
Bahkan di kampung saya, setiap jelang Lebaran, pihak desa menggelar acara santunan untuk anak yatim piatu se-desa. Anak yatim piatu yang ada di masing-masing RT/RW dikumpulkan dan mendapatkan santunan. Seingat saya jumlahnya cukup besar. Dan yang paling berkesan adalah ketika saya mendapatkan "hadiah" kambing saat saya masih kelas 1 SD. Malam ketika saya mendapat kambing itu masih terekam kuat dalam ingatan saya. Malam itu, saya pun pulang ke rumah dengan berjalan bersama kambing yang diikat tali.
Ketika beranjak besar, tentu saja "hujan rezeki" ketika Lebaran itu tidak lagi saya rasakan. Orang-orang baik itu masih konsisten berbuat baik ketika jelang Lebaran tiba. Namun, daftar penerima santunan mereka tentu saja bukan lagi anak ABG seperti saya, tetapi anak-anak yatim piatu yang masih "berusia sekolah dasar" yang memang lebih membutuhkan.
Meski, kebersamaan bersama "keluarga kedua" saya sembari bisa menikmati masakan yang hanya ada ketika Lebaran semisal ketupat sayur lodeh, menjadi hadiah yang tidak bisa dinilai materi.
Hadiah Paling Berkesan dari Kompasiana
Nah, setelah sekian lama tidak merasakan hadiah dalam makna benar-benar hadiah, saya akhirnya bisa kembali merasakan nikmatnya hadiah Lebaran ketika dulu masih aktif menulis di Kompasiana (kalau sekarang masih berusaha menata waktu untuk bisa aktif nulis lagi di tengah kesibukan bekerja menulis).
Tiga tahun lalu, jauh sebelum Kompasiana mengadakan kegiatan "samber THR" seperti tahun 2018 ini, saya pernah mendapatkan hadiah Lebaran dari Kompasiana yang paling saya ingat. Saya pernah mendapatkan 'THR' dari Kompasiana. Bahkan, Tunjangan Hari Raya nya tidak main-main. Sebuah 'tiket pesawat' untuk mudik dari Surabaya-Jakarta. Kok bisa?
Ceritanya, kala itu, Mei 2015, Kompasiana bekerja sama dengan gerakan "Dayakan Indonesia", menyelenggarakan blog competition bertema "Kisah Inspiratif di Daerahmu" dalam rangka lebih memberdayakan masyarakat Indonesia. Peserta/kompasianer diminta untuk menceritakan sosok atau organisasi inspiratif di daerahnya.
Saya lantas mengulas tentang kehidupan seorang perempuan rumah tangga di kawasan eks lokalisasi Dupak Bangunsari yang baru dialihfungsi oleh Pemkot Surabaya. Saya tertarik mengulas bagaimana dia memulai hidup dari nol. Dari yang awalnya "uang datang sendiri" melalui warung yang dia buka ketika bisnis esek-esek itu masih jaya-jayanya. Hingga ketika lokalisasi ditutup, dia harus memulai ikhtiarnya untuk mandiri berbekal pelatihan keterampilan yang dida dapat, serta mengajak para mantan pekerja seks komersial (PSK) dan para mantan mucikari untuk mau memberdayakan diri. Untuk tulisan selengkapnya silahkan mampir ke https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/kegigihan-anik-sriwatiah-berdayakan-mantan-psk-dan-mantan-mucikari-lokalisasi-dupak-bangunsari_556b6a222ab0bdb24fe40ef1.
Singkat kata, oleh dewan juri, tulisan saya itu dipilih sebagai pemenang pertama (https://www.kompasiana.com/kompasiana/pemenang-dayakan-indonesia-blog-competition-kisah-inspiratif-di-daerahmu_559d2f822d7a61562983fa49). Tulisan tersebut lantas dibukukan di buku berjudul "Hidup yang Lebih Berarti, Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia" bersama 19 tulisan blogger Kompasiana lainnya.