Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Tradisi Membangunkan Sahur Cara Bujangan, Pacaran dan Berkeluarga

Diperbarui: 5 Juni 2018   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ada banyak cara dan tradisi untuk membangunkan orang agar bangun sahur di bulan Ramadan. Berbagai cara itu bisa bergantung daerah di mana sampean (Anda) tinggal. Sebab, beda daerah, bisa beda cara membangunkan orang sahur. Beda cara itu juga ditentukan oleh kemajuan zaman. Era zaman old dengan zaman now yang serba gawai, tentunya beda cara.

Bahkan, beda tradisi membangunkan orang sahur ini juga bergantung dari "predikat sosial" seseorang. Maksud saya, sampean yang masih bujangan, yang sedang mesra pacaran dan yang sudah berkeluarga, tentunya punya ekspresi cara berbeda dalam membangunkan orang sahur.

Nah, di usia saya sekarang yang sudah tiga dekade lebih separoh, berbagai cara dalam membangunkan sahur yang berbeda dikarenakan tempat, kemajuan zaman dan juga predikat sosial itu, pernah saya alami.

Tradisi Membangunkan Sahur Lewat "Adu Kreativitas" di Musholla

Dulu, sekira awal 90-an, ketika saya masih bocah dan tinggal di sebuah kampung di Sidoarjo, waktu Sahur adalah salah satu waktu paling seru di bulan Ramadan. Seru karena hanya di bulan Ramadan, ada 'lomba' membangunkan orang sahur yang terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara di musholla dan masjid diselingi bunyi 'alat musik' seadanya seperti kentongan mini yang biasa dipakai untuk berjaga di poskamling.  

Buat saya itu menarik. Meski rumah ibu tepat berada di samping musholla, saya tidak merasa terganggu. Malah saya merasa ada yang hilang bila waktu sahur tanpa "seruan orang membangunkan sahur" dari musholla. Terlebih, kala itu di setiap musholla seolah "adu kreativitas" dalam membangunkan orang Sahur. Kreativitas itu terasa dari seruan membangunkan sahur yang berbeda-beda. Meski, ada "lagu wajib" yang digaungkan. Yakni "ayo sahur-sahur dulu, mumpung masih ada waktu" atau seruan "bapak/ibu monggo segera Sahur, Imsak kurang ..menit".

Ketika saya kuliah di Malang di awal 2000-an, suasana sahurnya sudah berbeda. Tidak ada lagi suara orang membangunkan sahur terdnegar dari Musholla. Saya merindukan suasana sahur seperti di kampung dulu.

Di kost-an, yang ada hanyalah kakak kost-an yang sering iseng menyalakan dering jam weker meski baru jam 1 pagi, sembari mengetuk pintu kamar kos dan berteriak "sahur-sahur".

Meski, ketika makan sahur di kost-an, itu momen terbaik dalam hidup sebagai bujangan. Setiap hari, di waktu yang biasanya hening, kami bisa ngumpul makan bareng di ruang tamu. Kebetulan, ibu kost punya warung. Jadinya, sahur tinggal ngambil (maksudnya bayarnay belakangan).

Membangunkan sahur cara orang pacaran

Ketika bekerja, terlebih ketika ditugaskan di Jakarta, suasananya beda lagi. Tidak ada lagi sahut-sahutan orang membangunkan sahur seperti di kampung. Makan sahur pun tidak lagi rame-rame. Yang ada, bangun sahur lantas tergopoh-gopoh menuju warung dekat kost-an karena khawatir kehabisan makan sahur. Malah pernah karena bangun mendekati waktu imsak, warungnya sudah tutup. Jadilah hanya sahur air mineral plus roti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline