Lihat ke Halaman Asli

Hadi Santoso

TERVERIFIKASI

Penulis. Jurnalis.

Begitu Sulitkan Berempati Kepada Korban Aksi Teror di Negeri Ini?

Diperbarui: 14 Mei 2018   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Tribun Jateng/Bare Kingkin Kinamu

"Sama biadabnya dengan teroris, mereka yang mengatakan teror-teror yang terjadi di Depok, Surabaya, dan Sidoarjo merupakan rekayasa aparat. Mereka tak berempati sama sekali, berhati srigala".

Begitu tulisan Prof Mahfud MD di akun Instagramnya menyoal berbagai respons yang muncul di masyarakat pascateror bom yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, kemarin. Tulisan yang diposting tadi pagi (14/5/2018) ini sudah dikomentari lebih dari 460 komentar dan di-like lebih dari 8200 followernya.

Saya tidak tahu siapa 'mereka' yang dimaksud Prof Mahfud. Saya tahunya, dari ratusan komentar, beberapa berpendapat tulisan Prof Mahfud tersebut mewakili perasaan serupa mereka. Apakah sampean (Anda) juga ikut terwakili oleh tulisan itu?

Dan memang, sebagai manusia yang punya hati dan kepekaan sebagai manusia, sampean tentunya ikut bersedih, merasakan kengerian, ikut mengutuk aksi teror pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo yang menghilangkan nyawa dan melukai saudara sebangsa. Seharusnya, alasan ini saja sudah cukup untuk berempati. Tanpa perlu melihat embel-embel lain.

Namun, nyatanya, memang masih ada orang yang dengan santainya menyebut aksi teror di Surabaya itu sekadar bentuk pengalihan isu dan lantas mengajak untuk tetap fokus pada misi di tahun depan. Saya tahunya juga dari laman akun media sosial seorang kawan yang memposting ulang postingan orang yang berkomentar seperti itu. Entah postingan itu sudah dihapus atau belum.    

Beberapa kawan langsung bereaksi pada postingan tersebut. Ada yang bilang begini : "nek ono sing ngomong pengalihan isu, siramen banyu peceren, wedi ne ksurupan". Makna terjemahan dari bahasa Suroboyoan itu kurang lebih begini: "kalau ada yang bilang ini pengalihan isu, disiram air comberan saja, khawatirnya dia kesurupan (agar sadar)".

Ah, apa sih susahnya ikut berempati dengan meledaknya teror yang terjadi di kota dan negeri yang kita tinggali. Apa susahnya ikut berempati kepada mereka yang tengah berduka melalui pernyataan sikap? Apakah ada yang lebih bernilai dari harmoni di negeri ini sehingga teror dianggap sebagai rekayasa?

Padahal, sebagai manusia yang punya sisi kemanusiaan, kita sejatinya mudah untuk berempati kepada penderitaan atau apapun yang dirasakan oleh orang lain. Jangankan manusia, bila melihat berita kucing yang disiksa karena disiram air keras saja, perasaan iba mendadak muncul. Apalagi teror yang menyebabkan kematian manusia.

Ya, sebagai manusia, sejatinya sisi manusianya kita mudah sekali tersentuh bila bisa merasa punya kedekatan, merasa punya kesamaan. Bukankah para korban teror itu dekat dengan kita karena sama-sama warga negara Indonesia, mereka juga sama dengan kita karena sama-sama manusianya. Alasan apalagi yang lebih hebat?

Ya, seharusnya alasan ini saja sudah cukup untuk berempati. Mengutip quote dari sahabat Ali bin Abi Tholib yang terkenal itu, bahwa mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.

Belum lagi bila kita mengandaikan ada di posisi korban. Sebelum teror yang terjadi di Surabaya-Sidoarjo, saya tak sengaja membaca komik singkat yang berkelindan di Instagram perihal teror di Mako Brimob. Kisahnya bikin haru terlepas itu kisah nyata atau tidak. Betapa tragedi itu merenggut kedekatan seorang anak dan ayahnya yang seorang polisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline